Ketika Ale Membawa Kabar

9.6K 1.3K 453
                                    


Buset ini orang, emang nggak kerja apa? Batin saya keheranan saat lagi-lagi mendapati Ale menelepon dengan kabar kalau dia sedang dalam perjalanan ke Bandung. Hingga saat itu—kurang lebih empat bulan sejak Ale kembali—dia memang masihlah certified warga Depok yang tak lagi punya tempat tinggal tetap di sini, terlebih setelah ditinggalkannya apartemen Enamhari oleh penghuni-penghuninya pasca kelulusan.

Sebetulnya lucu juga, apa yang saya dan Ale lakukan sekarang rasanya sama persis seperti masa-masa awal kami menjalin hubungan beberapa tahun silam: telepon, video call, telepon lagi, video call lagi, kangen, kangen, kangen, sampai akhirnya terpangkaslah ruang pembatas itu ketika saya tiba di Kota Kembang sebagai mahasiswa baru. Waktu itu jarak yang tersisa rasanya benar-benar seperti dua langkah kaki saja. Belum ada keluhan mager, bensin tekor, sibuk sana sibuk sini, dan berbagai macam hal lain yang membuat Bandung – Jatinangor seakan-akan dipisahkan seribu pulau.

Bedanya, sekarang, kami sudah sama-sama jauh lebih dewasa untuk mengerti. Mau Bandung dan Depok betul-betul dipisahkan oleh seribu pulau sekalipun.

Kebetulan kegiatan saya tak benar-benar padat hari ini, jadi begitu Ale tiba dengan Dirga kesayangannya di depan gerbang kampus, saya langsung mengajaknya ke sebuah tempat makan di kawasan Dago Pakar. Berhubung Ale juga sedang sangat butuh pemandangan yang bukan gedung pencakar langit, katanya.

"Kali ini dalam rangka apa ke Bandung?" Saya bertanya, di balik sebuah meja panjang yang mengarah langsung ke hamparan pepohonan dan semilir angin yang menyapu wajah kami lembut-lembut. Ale mencomot satu butir tahu goreng hangat, menggigitnya sebagian, sedangkan bagian lain ia tawarkan ke depan mulut saya.

"Kenapa? Udah bosen nih aku samperin?" Balasnya setengah bercanda.

"Ih maksud aku, emang ada apa? Ini kan hari kerja gitu. Ditugasin sama kantor?"

"Aku udah resign."

Bahu saya menegak terkejut, "Lagi?"

Bukannya lekas menjawab, Ale malah tampak sama terkejutnya dengan saya. Bedanya air muka dia mengandung sedikit unsur kejenakaan, yang kemudian berangsur semakin banyak, semakin kentara.

"Tau dari mana aku pernah resign?"

Pertanyaan itu membuat saya cepat-cepat buang muka.

"Ada lah. Sumber aku banyak."

Ale menopang dagunya, mendekatkan muka dengan tatapan iseng paling menyebalkan, "Trus trus? Kamu pernah ngepoin apa lagi selama ini?"

"Pede banget. Kamu kali nanyain kabar aku terus ke Mas Ravi."

"Iya emang aku nanyain kamu terus. Masih usaha aku mah."

"Usaha apaan, bales story aja aku duluan."

"Oh jadi mainnya gini nih sekarang?"

"Ngga tapi serius Leeee," saya mendorong perut Ale geregetan, "Is everything okay?"

Ale tidak langsung menjawab. Bibirnya mengerucut naik, terdengar gumaman hmm panjang sebelum matanya berputar ke arah lain, hingga akhirnya dia membetulkan posisinya yang semula miring menghadap saya jadi mengikuti saya memandangi hamparan pepohonan di depan--seolah memang menghindar dari betapa serius tajam tilik mata saya saat itu.

Mungkin sudah kepalang tertanam sebagai trauma kecil, bicara soal masa depan adalah sesuatu yang saya dan Ale sama-sama paling hindari sejak hal itu berhasil menjadi pemicu kegagalan terbesar di dalam hubungan kami. Masa depan-masa depan di percakapan kami selanjutnya tak pernah lebih dari rencana makan malam, agenda satu minggu ke depan, dan hal-hal remeh seperti apa yang ingin kami lakukan di liburan mendatang.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang