Ketika Ale Membawa Kabar

Mulai dari awal
                                    

"Sorry, aku bingung mau mulai dari mana." Katanya setelah hening cukup panjang, diiringi gelak ringan yang saya tahu dibuat-buat.

Mendadak saya cemas sendiri. Saya selalu tidak siap dihadapkan dengan Ale yang tiba-tiba tidak percaya diri seperti ini.

"Nggapapa kalo emang kamu ngga bisa kasih tau sekarang. Just let me know that everything is okay." Ucap saya hati-hati. Ale tampak berpikir lagi, menyusun kata-kata lagi.

"Aku udah ngamatin banyak hal selama aku pindah-pindah kantor, Van. Banyak. Dari kerjaan aku sendiri, kerjaan temen-temen aku, kerjaan atasan aku, lingkungan kantornya gimana, orang-orangnya gimana..."

"Terus?"

"Aduh, aku capek sebenernya jadi orang yang selalu bingung soal hal ini di depan kamu," dia tergelak ringan lagi, semacam manipulasi untuk menyembunyikan sedikit rasa malunya, "Bentar ya, aku mikir dulu."

Saya mengangguk, "Take your time." Ucap saya sambil menggeser segelas kopi hangat ke depannya untuk ia sesap sebentar.

"Kayaknya sekarang aku mulai ngerti, Van, ke mana aku harus bawa semua yang aku dapet selama ini. Entah yang aku dapet waktu kuliah, waktu aku main musik, atau waktu aku kerja sekalipun. Kamu inget ngga, aku pernah pengen bikin studio rekaman dan sekolah musik aku sendiri?"

"Jangan bilang kamu..."

"Belom, belom," dia menggeleng-geleng kecil, "Belom sampe situ. Tapi cepat atau lambat aku bakal mulai dari hal terkecil: aku mau belajar. Aku udah nyari banyak info beasiswa, nyari info tentang sekolah bisnis, di luar maupun di dalem, udah ngambil beberapa tes masuk juga. Tapi ternyata susah juga."

Mata saya kian menatap Ale lekat-lekat, seakan meminta dia untuk menuntaskan kata-katanya karena saya sama sekali tak bisa menebak ke mana mereka akan bermuara.

"Akan sangat kurang ajar dan nggak tahu diri sih kalo akhirnya aku bilang ini sebuah nasib yang kurang beruntung, tapi dari semua sekolah yang aku coba apply tahun ini, entah itu di luar atau di dalem, ternyata cuma satu sekolah yang mau nerima aku sebagai mahasiswa pascasarjana."

"Di mana?"

Ale mengerling, melukis senyum yang perlahan melebar selebar-lebarnya sebelum menjawab, "Kampus kamu."

Detik itulah jantung saya sukses dibuat mencelos.

Satu-satunya respons yang bisa saya berikan mungkin hanya berupa kerjapan mata, bahkan otak saya pun sepertinya menolak untuk memberi tanggapan lainnya. Saya diam. Membisu seperti batu. Memandanginya. Mencerna perkataannya. Menerka apa arti kalimat yang mendadak asing di telinga saya.

"Apa Le?"

"Aku sekolah lagi, Van. Di kampus kamu."

"Bohong."

"Serius."

"Apaan sih kok di kampus aku? Nggak, boong."

Renyah tawa Ale berhamburan melihat saya tergemap sedemikian bingung, "Beneraaaan. Perlu aku tunjukin buktinya? Bentar ya aku buka email nih."

Sementara Ale sibuk mengeluarkan dan mengotak-atik ponselnya, saya masih sibuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya saya rasakan saat itu. Saya terkejut, saya senang, saya tidak percaya, saya dimakan tanda tanya besar, tetapi saya juga menelan kecewa banyak-banyak. Saya bahkan tak begitu memperhatikan ketika Ale menganjurkan layar ponselnya ke depan mata saya dengan binar kegembiraan yang menyala-nyala dari matanya.

Mengetahui saya yang tak menunjukkan reaksi sebagaimana mestinya, bahagia di garis wajah Ale pun meluruh dengan drastis. Tubuhnya mendekat, seperti berusaha untuk mengambil alih perhatian saya banyak-banyak.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang