[Dua] Kamu siapa.

Start from the beginning
                                    

Brayn hanya mendecih pelan.

"Lo gak pernah lihat Xal takut, kan?" Brayn mengangkat satu alisnya. Evos melanjutkan menulisnya dan tetap berbicara. "Dia marahin semua dokter, termasuk gue yang lagi jaga di IGD malam itu,"

"Xal?"

Evos mengangguk. Mengangkat wajahnya menatap Brayn. "Dia ngamuk waktu lihat lo kritis. Sumpah gue ngeri sendiri lihatnya. Adek lo yang kalem, diem, irit ngomong kayak gitu kalau marah serem anjir," Evos bergidik ngeri. "Xalio kalut banget. Waktu gue bilang lo kritis dan butuh darah, Xalio langsung hubungin semua teman-temannya, karna darah dia gak cocok sama lo,"

Brayn mendengarkan.

"Malem itu kita dapat dua kantung darah. Kondisi lo tetap kritis. Entah darimana keajaiban lo masih bisa bertahan, suhu tubuh lo di bawah normal. Malam itu gue udah ngira lo gak bakalan lama,"

"Emang dasarnya lo mau gue mati,"

"Nggak, Bray. Serius, tubuh lo udah biru semua, badan lo dingin kayak mayat."

"Xalio kenapa bisa ada ditempat kejadian?"

Evos mengedikkan bahunya. "Kata Xal, Nyokap lo punya firasat buruk. Dia dipaksa sama Nyokap lo buat lihat keadaan lo. Dan ternyata bener, anaknya lagi menantang maut."

Brayn mengangguk pelan. Ia tidak sempat bertemu Xalio karna Evos bilang adiknya itu sudah kembali ke kota begitu Brayn sudah siuman.

Kejadiannya begitu cepat. Brayn tidak bisa mengingat kejadian detail apa yang ia alami. Yang ia ingat, malam itu dirinya tertidur, kesulitan bernapas, dan ada yang menindih tubuhnya membuatnya tidak bisa bergerak. Semuanya berwarna hitam, sakit yang menjalar di sekitar lehernya.

Brayn menghembuskan napasnya pelan. Evos telah pergi lima belas menit yang lalu. Menatap tetesan darah yang masuk melalui selang infus dan masuk ketubuhnya tinggal sedikit lagi. Begitu ia yakin jika kantung darah sudah hampir habis, Brayn menekan tombol di samping kepalanya, dua orang perawat langsung menghampiri dan menggantinya cairan biasa.

Diraba leher sebelah kanannya. Sesosok tubuh langsing, bibir merah, wajah pucat, rambut panjang dan mata berwarna biru menyala. Perempuan itu yang sudah Membuat Brayn seperti ini.

Brayn menggeleng. Ia mengambil handphone miliknya yang diletakkan dibawah bantal. Menunggu panggilan telponnya diangkat oleh seseorang. Matanya melayang kesudut ruangan, sembari bibirnya bergumam kecil.

"Hallo,"

Senyum Brayn mengembang. Tubuhnya menegap. Namun tidak bertahan lama, Brayn langsung menunjukkan ekspresi sakit yang ia buat sebaik mungkin meski di ujung telpon tidak bisa melihatnya.

"Kayaknya gue lagi mimpi. Dalam mimpi gue sekarang, gue lagi di rumah sakit. Kayaknya gue emang lagi sakit, deh,"

"Iya, jiwa lo sakit,"

Brayn menggeleng. Tentu saja lawan bicaranya tidak bisa melihat. "Jadi, gue mimpi apa nggak?" tanya Brayn dengan intonasi dimanjakan

"Garing,"

"Lo tahu gak, yang lebih parahnya. Si Xalio, itu, status di kartu keluarga yang berperan sebagai adek gue. Dan dalam mimpi gue, dia nangis, manggil nama gue waktu gue sekarat. Bisa lo bayangin? Xal! Xalio yang gue senggol langsung nyetrum kok listriknya langsung mati." Brayn membuang napasnya. Ia tersenyum. "Sekarang gue sadar, ternyata gue bukan anak tunggal."

"Lo salah sambung?"

Brayn mengerutkan keningnya. Melihat layar ponselnya yang tadinya hitam langsung menyala. Membaca nama yang tertera sebelum menempelkannya kembali di telinga. "Kayaknya nggak, deh,"

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now