03

55 7 0
                                    

Mulmed: Rafi

PANGERAN PENCABUT NYAWA 2

Sore ini matahari tanpa segan memamerkan cahaya keemasannya yang menimpa rambut hitam tebal milik Rafi yang sedang terduduk di tengah-tengah lapangan basket dengan napas tersengal setelah berulang kali menggiring bola lalu memasukkannnya tepat ke sasaran setinggi 2,8m. Memantul-mantulkan bola basket seperti ini adalah kesukaannya setiap selesai sekolah. Ia merasa seperti bisa meluapkan kekesalan yang ia tanggung sepanjang hari. Kali ini ia bermain dengan damai, tanpa adu celoteh dengan seorang gadis berambut ikal legam dan berkulit terang juga hidung mungil. Ia merasa damai, tapi bukan berarti ia merasa nyaman. Ia merasa – sepi.

Kemana si cerewet itu? Nggak biasanya dia pulang tanpa menggangguku dulu. Rafi terduduk menikmati angin kecil yang lewat membelai rambutnya sambil membiarkan pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan Yuki menari-nari di benaknya.

Astaga! Untuk apa aku memikirkan si tengil itu. Rafi lalu segera berdiri, menepis semua tentang Yuki di kepalanya. Ia berjalan ke arah bangku biru langit setinggi lutut kaki, tempat ia membaringkan tas hitam bergaris cokelat kesukaannya. Sekolah terlihat cukup ramai dengan beberapa orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing di jam ini. Beberapa anak berlalu lalang di koridor sambil sesekali tertawa cekikikan, entah apa yang mereka tertawakan. Guru-guru teladan juga masih mengerjakan beberapa hal yang tidak diketahui Rafi apa pentingnya.

Rafi terus berjalan lurus tanpa gangguan sampai akhirnya suara dari orang yang sangat dikenalnya membuatnya terpaksa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan menggubris panggilan barusan.

"Ada apa bu?"

"Fauzan bilang kamu tau rumah Yuki. Ini, tolong berikan pada Yuki." Bu Endang menyerahkan buku kecil dan beberapa lembar kertas pada Rafi. " Ibu sudah mencarinya kemana-mana, sepertinya ia sudah pulang."

"Ah?"

"Ibu minta tolong ya Rafi."

Kalau saja Bu Endang tidak segera pergi seperti itu Rafi pasti sudah mengajukan beribu nama untuk menggantikannya mengantar kertas-kertas ini ke rumah Yuki yang sebenarnya cukup dekat dari komplek tempat ia tinggal bersama Bunda dan Buyanya. Rafi hanya bisa menggerutu dalam hati dan menghempaskan embusan napasnya dengan kasar. Ia berjalan terus ke arah tadi pagi ia membiarkan sepeda motor maticnya berdiri menunggu ia pulang sekolah.

_________________

Rafi memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah rumah bernuansa modern putih - cokelat nan asri dengan rerumputan hijau serupa karpet yang membentang di halaman depan rumah itu. Tepat ketika Rafi menapakkan kakinya di atas bumi, seorang pria jangkung dengan perut cukup besar dalam balutan kemeja putih bergaris vertikal tersenyum, mempersilahkan Rafi masuk lalu segera pergi tanpa basa-basi. Sepertinya orang itu adalah ayah Yuki, dan ia tampak memburu waktu. Setelah puas membalas senyum itu, Rafi terus melangkah ke arah pintu cokelat di depannya. Ia mengangkat tangannya membentuk kepalan untuk mengetuk pintu agar dapat segera menyerahkan hal tidak penting ini pada Yuki, lalu secepatnya pulang dan memeluk mesra guling dan bantal besarnya di rumah. Kemudian secara tiba-tiba seorang wanita membuka pintu, seakan telah meramal Rafi akan datang. Ajaib!

"Ngg.. Tante, Yuki ada?"

"Oh? Ada kok, ada. Masuk, masuk. Dia ada di kamarnya, lantai 2. Panggil aja. Tante pergi dulu ya."

Ibu macam apa yang ngebiarin bocah laki-laki yang nggak dikenal langsung masuk ke kamar putrinya begini. Rafi merasa aneh dengan perintah wanita itu. Tapi untuk apa dipikirkan, bukankah semakin cepat justru semakin baik? Rafi segera menaiki anak tangga yang ia lihat tepat di sebelah kanannya saat ia masuk ke dalam rumah yang cukup nyaman ini. Saat sampai pijakannya di lantai kedua rumah itu, ia bisa langsung menebak yang mana kamar Yuki. Tentu saja, ada gambar-gambar aneh di pintu itu, sangat aneh – persis seperti Yuki. Ia terus melanjutkan langkahnya ke arah pintu itu.

"Yuki!" diketuknya pintu biru itu dengan keras. Berharap Yuki segera keluar dan urusan menjengkelkan ini selesai.

Hening. Astaga, gadis ini benar-benar memperlambatnya. Rafi kembali mengetuk pintu itu berulang kali hingga terdengar alunan kekesalan yang teramat sangat sumbang.

Akhirnya instrumen dadakan itu berhenti memekakkan telinga dan membuat tangan Rafi berubah kemerahan. Rafi mendengus pelan dan meletakkan buku itu di atas lantai. Semoga nanti – atau entah kapan, Yuki akan membukanya lalu mengerjakannya. Dan kalau-kalau Yuki tidak menemukan buku itu sama sekali, itu bukan urusan Rafi. Tentu saja! Salah sendiri ia menghiraukan kebisingan merdu tadi. Ia lalu berbalik dan berjalan meneruni tangga. Tunggu! Sesuatu menahan kaki Rafi untuk berpijak ke anak tangga selanjutnya. Ia mematung seketika, terasa sedikit getaran aneh pada tubuhnya. Rafi mengembalikan pandangnya pada pintu itu lagi.

Bodoh! Aku penasaran setengah mati. Dengan ragu, ditujukannya arah ia melangkah kembali ke kamar itu. Ia menekuk kedua kakinya serendah mungkin agar dapat memuaskan rasa penasarannya. Bukan mesum! Tentu saja bukan, Rafi hanya penasaran dengan sekelibat perasaan anehnya. Matanya menulusuri seluruh bagian yang tampak dari garis horizontal yang menembus ruangan di balik pintu biru ini. Kosong. Sepertinya sang pemilik sengaja membuat Rafi penasaran.

Rafi menegakkan kembali tubuh proposionalnya yang dikagumi adik-adik kelas centil nan menyebalkan – walau tak semenyebalkan rasa penasaran yang mengusiknya sekarang ini. Rafi bukanlah orang yang mampu menelan rasa penasarannya bulat-bulat, sama sekali bukan. Bahkan tidak hanya sekali rasa penasaran itu hampir mencelakainya. Sekarang ia harus benar-benar berusaha menjalankan tiap roda-roda gir di otaknya agar segera menemukan cara menuntaskan rasa penasaran ini. Ia berdiri di depan pintu itu, menatapnya kesal seolah siap merubuhkan pintu itu kapan saja jika ia gagal menguasai dirinya.

Sebuah lubang kecil di bawah gagang pintu menarik perhatian Rafi seketika. Tentu saja kau tau apa yang dipikirkannya. Sekali lagi bukan mesum! Rafi hanya ingin mengakhiri rasa penasaran yang menyiksa ini. Dengan ragu ia mencondongkan badannya agar matanya sejajar dan dapat menerawang ruang di balik pintu ini. Sesekali ia kembali menegakkan badannya atas dorongan rasa sopan santun yang masih tersisa. Ini benar-benar menjengkelkan. Akhirnya Rafi nekat membuang rasa sopan santunnya jauh-jauh demi menyudahi rasa penasaran sial ini. Sedetik kemudian ia mulai mensejajarkan matanya di lubang kunci itu. Ketika Rafi baru saja melihat kursi dan ingin menelusur kearah lain, sebuah suara mengagetkannya ibarat suara alarm di pagi hari.

"Eh? Rafi?"

"Rendy???" Rafi cepat-cepat menstabilkan suara kagetnya yang lebih mirip suara Desta Mahendra ketika bernyanyi. "Kok?"

"Aku sepupunya Yuki." Rendy tersenyum simpul. "Eh iya, aku mau pergi. Tolong bangunin si kuntet ya. Buru-buru banget ini seriusan deh. Buka aja ntu pintu, dia gaperna ngunci"

Belum sempat Rafi menolak atau bahkan tersenyum menggelikan yang dianggapnya memelas, Rendy sudah menghilang dari pandangan. Rafi senang sekaligus kesal. Senang sebab rasa penasarannya kini telah diberi kepastian agar terjawab. Juga kesal karena keluarga ini berulang kali menyuruh-nyuruhnya seenak jidat mereka. Rafi menggenggam gagang pintu dengan sempurna dan membukanya begitu mudah dalam sekali gerakan. Ia melangkah masuk dan bau anyir langsung datang menyerang hidung mancungnya. Sungguh ini membuatnya pusing, sebab Rafi pernah mengalami trauma kecil dengan darah. Matanya reflek mengikuti arah penciuman yang ia andalkan.

Seorang gadis terbaring di antara cairan merah yang memusingkan. Kaus abu yang ia kenakan kini setengahnya berubah menjadi lebih pekat. Gadis itu memaksakan senyum lemah yang terlihat tulus saat matanya dengan sayu menemukan Rafi. Dan ia terlelap dengan damai setelahnya.

Rafi seketika gelagapan, seluruh otaknya sekaan tersedot oleh darah yang menggenang. Ia benci keadaan dimana Yuki yang hampir kehabisan darah bergantung pada si pengecut yang merasa ngeri dengan cairan merah itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Derai DesemberWhere stories live. Discover now