"Aku yang salah." Kataku hati-hati. Aku bisa melihat wajahnya tidak puas dengan jawabanku. Ia kini yang mendekatiku dan kemudian menyelipkan tangannya di antara lengan dan tubuhku. Aku tersenyum melihat apa yang dia lakukan. Dan kami sama-sama tidak bergerak menikmati momen ini.

Pintu lift terbuka.

Perempuan di depan kami sedikit ragu untuk melangkah masuk. Aku menelan ludah dan sedikit melirik ke arah Ava yang tentu saja tidak bisa membaca situasi yang membuat suhu tubuhku sedikit meningkat. Sudah lama aku tidak tinggal di apartemen ini dan aku tidak pernah berharap untuk bertemu dengan salah satu perempuan yang dulu beberapa kali bebas masuk keluar tempat tinggalku.

"Erick?" Perempuan itu memutuskan untuk masuk ke lift setelah beberapa detik terpaku di depannya sambil memandang kami.

"Hi..." sapaku pelan karena tiba-tiba aku seperti kehabisan napas. Aku bisa merasakan tangan Ava perlahan turun dari lenganku.

"Gue kira apartemen lo udah di jual? Lo balik sini lagi?"

"Nggak." Aku menggeleng karena tiba-tiba otakku menghitam persis layar laptop yang mati karena virus.

"Terus?"

"Ummm..." ah aku tidak pernah berpikir aku harus menghadapi situasi seperti ini. Aku berharap lift ini segera mencapai lantai apartemenku.

"Gue hanya singgah sebentar." Jawabku asal namun langsung menciptakan senyum di bibir perempuan itu sambil melihat penuh arti ke arah Ava. Oh shit....dia pasti berpikir salah tentang Ava.

"Okay..." dia berkata masih dengan senyum penuh arti. Aku menarik napas lega saat lift berhenti di lantai apartemenku. Aku sedikit menarik Ava lebih rapat ke arahku dan menggandengnya keluar.

"Kita bisa bertemu lagi kapan-kapan kan? Di tempatmu? I missed you!" katanya dengan suara menggoda seperti biasa mengiringi langkah kami. Aku menoleh ke arahnya.

"No! Kita nggak akan ketemu. She's my fiancée."

Senyum di wajah perempuan itu menghilang seiring pintu lift yang menutup. Ava melepaskan genggaman tangannya dan berjalan lebih dulu.

"Aku nggak marah! Dan kamu nggak perlu menjelaskan tentangku pada semua perempuan itu. Lagian aku pake masker nggak bakal ada yang mengingat wajahku. " katanya tanpa menghentikan langkah. "Aku harus terbiasa bertemu dengan mereka tanpa perlu ada penjelasan tentangku." Dia menoleh ke arahku setelah langkahnya terhenti di depan pintu apartemen.

"Dan kamu nggak perlu minta maaf lagi untuk hal-hal yang seperti itu." Dia menghentikan niatku untuk berucap maaf saat bibirku bergerak ragu. Aku menarik napas berat. Ava selalu memberiku kejutan lewat sikapnya namun aku menyukai sifat 'real'-nya. Justru aku yang terus berhati-hati bagai seorang penjahat di tempat umum. Aku mulai memahaminya sekarang, ketika ia mengeluarkan kata-kata sindirannya saat aku memeluknya di lift itu tidak berarti aku harus menjaga jarak dengannya. Ia hanya ingin aku tidak terus dibayangi masa laluku. Menempatkannya pada posisi suci dan aku adalah pendosa. Ya, begitulah kita-kira.

"Aku nggak marah. Lagian ini apartemenmu jadi nggak heran bila bertemu salah satu dari mereka." Ia memandangku dengan sinar mata polosnya namun aku bisa melihat ada rasa kesal yang membias di sana. Dia cemburu dan aku mengerti. Namun pemandangan di depanku ini membuatku begitu ingin mengecup bibirnya. She's so precious dengan semua sikapnya ini. Aku menurunkan maskernya, menangkup kedua tanganku di wajahnya dan mengecup pelan bibirnya. Otakku kemudian mengingatkanku bahwa kami masih berada di depan pintu. Aku melepaskan ciumanku kemudian dengan cepat membuka pintu apartemen.

"I am your fiancée?" dia tiba-tiba berkata saat aku melepaskan ciumanku. Aku tahu pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa canggungnya akibat aksiku yang diresponnnya. She kissed me back! Tidak seperti ketika aku menciumnya pertama kali pagi tadi. Ciuman pertama itu terasa begitu polos dan pasrah tapi tidak dengan yang barusan. Aku menyembunyikan senyumku.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now