Chapter 14: Sadness

157 26 8
                                    

Tuan Lee sudah bersiap masuk ke ruang operasi. Jieun menemani ayahnya untuk mengantarkan sampai pintu ruang operasi.

"Jieunna, bisa kau biarkan ayah berbicara sebentar dengan So?"

Jieun sedikit terkejut dan akhirnya mengangguk, Jieun lalu ke luar dari ruangan.

"So-ya."

"Yye abeonim?"

"Aku tak memaksamu untuk menceraikan Jieun. Tapi ku harap kau tanyakan sendiri apa yang ingin dia lakukan. Jika dia tak mencintaimu. Aku ingin kau dengan rela pergi meninggalkannya."

"Aku mengerti. Akan ku penuhi janjiku."

"Kau tahu. Aku tak pernah meragukan perhatianmu pada Jieun. Namun aku juga tidak bisa membuatnya harus menghabiskan waktu dengan orang yang tidak dicintainya. Kau pasti mengerti kekhawatiranku."

"Jangan khawatir abeonim. Aku berjanji akan melakukan apa yang abeonim sudah minta padaku." So memegang tangan tuan Lee dan menggenggamnya erat.

"Satu lagi. Jika aku tak pernah kembali lagi. Ku harap kau bisa menjaganya menggantikan diriku tanpa mengikatnya. Aku ayah yang egois tapi aku tak akan tenang jika tak mengatakan ini padamu. Tidak ada yang bisa kupercaya sekarang."

"Jangan katakan itu abeonim. Jieun menunggu agar abeonim bisa sehat seperti biasa. Kita . . . ah tidak maksudku abeonim dan Jieun akan kembali hidup bahagia bersama di rumah kalian."

"Terimakasih So-ya, aku mengerti maksudmu. Ku harap Jieun menyukai mu dan kalian bisa hidup bersama."

So tersenyum. Jieun mengetuk pintu untuk masuk.

"Ayah, sudah saatnya."

Perawat mendorong tempat tidur Tuan Lee menuju ruang operasi. So dan Jieun berjalan mengikuti langkah para perawat.

@ @ @

Jieun enggan beranjak dari ruang tunggu walau sudah lewat 2 jam. So menyodorkan kopi hangat pada Jieun.

"Jieun-a, makanlah dulu. Aku akan menungguinya di sini."

"Anniya, aku akan pergi dari sini jika operasinya sudah selesai."

So menyerah, ia membuka jaketnya dan meletakkan di badan Jieun, "Baiklah jika begitu. Aku akan membawakan makanan ke sini. Apa yang mau kau makan?"

Jieun menggeleng. So tahu Jieun tak akan menjawab. Dia lalu memegang bahu Jieun berusaha menguatkannya. "Aku keluar sebentar. Hubungi aku jika terjadi sesuatu."

Jieun mengangguk. "Oppa, jaketnya?"

"Gwenchana, aku tidak kedinginan. Pakailah."

So terburu-buru membeli makanan. Ia membeli satu porsi bubur dan bahkan tidak sadar jika dirinya sendiri sebenarnya belum makan. So hanya tersenyum saat sadar hanya membeli satu porsi. Ia sadar betul ternyata Jieun adalah orang yang penting bahkan dia bisa melupakan dirinya sendiri jika menyangkut Jieun.

Sudah pukul sepuluh malam. Rumah sakit masih belum sepi walau tidak seramai siang hari. So mendekati Jieun yang masih duduk di kursi ruang tunggu. Ia urung berbicara karena melihat mata Jieun tertutup. So mendekat dengan hati-hati dan duduk di samping Jieun.

Kepala Jieun hampir jatuh ketika So dengan sigap menangkapnya dan menyandarkan kepala Jieun di bahunya. Jieun membernarkan posisi kepalanya di bahu So, nyaman.

So mengusap pelan kepala Jieun sambil berbisik, "Kuatlah Jieun. Mulai sekarang hanya ada kebahagian di hadapanmu."

Ruang operasi terbuka, Jieun dan So reflek berdiri walau mereka sama-sama terlelap.

Pure HeartWhere stories live. Discover now