''Iya, beberapa teman kamu sudah chat aku secara pribadi. Kalian kelompok pria straight iseng yang buat akun blued hanya untuk adu hebat. Siapa yang bisa menaklukan seorang gay terlebih official host, dia menang kan?''

Aku mengepulkan asap tinggi-tinggi. ''Well, ketahuan ya. Kalau kau sudah tahu sedari awal. Kenapa kau menjadikanku pemenang kencan di adu gombal itu.''

''Karena aku ingin kamu menang.''

''Alasannya?''

''Karena perjuanganmu maksimal. Sebulan ini kamu selalu hadir di room aku dan kita berkomunikasi berjam-jam tiap harinya. Itu hingga larut.''

''Itu kan biasa?'' ucapku sambil tertawa kecil.

''Bagiku tidak biasa,'' jelasmu sebelum mulai mencicipi Americano-mu yang baru tiba. ''Kau berbeda.''

''Ya, ya, ya. Itu kan menurutmu.''

''Perasaanku bilang begitu.''

''Bahaya, Billy. Jangan bawa perasaan.''

''Harusnya kamu yang harus waspada, Ken. Sekarang aku balik tanya. Kenapa kamu rela datang kemari.''

Aku pura-pura berpikir sambil mengusap-usap lenganku yang bertato.

Kau menyimpan rokokmu di asbak lalu sedikit mendekatkan wajahmu ke arahku. Aroma parfum di tubuhmu lebih kuat daripada aroma asap rokok milik kita berdua. ''Kamu straight dan aku gay. Bertemu disini. Ada penjelasan?''

''Hm, karena kamu mengajakku bertemu.''

''Harusnya kamu kan bisa nolak, Ken.''

''Ya, karena aku kasihan sama kamu, Bill.''

''Kenapa kamu kasihan? Karena kamu menutupi identitas. Karena kamu bohong dengan semua gombalan-gombalan itu? Aku sudah tahu sih.''

''Lalu, kenapa kamu juga datang, Bill? Harusnya kamu bisa balas dendam dong. Ajak aku janjian lalu batal datang. Fair enough.''

Kau mengaduk-ngaduk cangkir kopi. ''Karena aku ingin bertemu. Itu saja.''

''Aku juga.''

Mata kita beradu sesaat. Lalu aku sengaja mengalihkan pandangan. Mencoba mencari topik baru untuk mengalihkan pembicaran.

''Kamu benar-benar tidak tampak seperti gay,'' kataku tenang.

''Kamu juga tidak tampak seperti straight,'' ucapmu tenang.

''Wait, damn you!'' Aku lalu mendekat menunjukkan tato-tato di kedua lenganku padanya.

Kau tertawa lepas.

''Hahaha, sorry. You look manlier than me though, Ken. And, for your information. Not all gay harus terlihat feminim.''

''Ah oke. I know that.''

''Lalu kenapa?" tanyamu.

''Kenapa apanya?''

''Kenapa kamu lebih memilih live room aku dibandingkan gay-gay yang lain, Ken? Banyak yang lebih menarik dan lebih dekat jaraknya denganmu sebenarnya.'' Kau bertanya sambil bertukar posisi duduk. Sekarang kau tepat ada di sampingku. ''Sorry, gw pindah kesini, asap rokoknya mengarah ke wajah. Angin berlawanan.''

Aku menggeser posisi dudukku sedikit miring agar bisa melihat wajahmu. Siluet lampu yang menyinari tubuhmu membuat itu terlihat sedikit bercahaya dan membuatku silau. ''Let you guess why?''

''I am asking you!''

Mata kita kembali beradu. Ada sesuatu yang membuatmu menarik. Matamu, bibirmu, seluruh gesturmu. Aku tertarik seperti magnet. Pembawaanmu yang ramah dan sangat tenang membuat setiap jawabanmu memilki kelas tersendiri.

''No answer, huh?'' tanyamu.

''Boleh ada pilihan untuk tidak menjawab?''

''Tidak boleh.''

''Aturan darimana itu?''

''Aturan dariku. Baru saja aku buat.''

''Kok bisa?''

''Karena kamu yang menanyakanku soal aturan itu, Ken. Jadi ya aku buat aturan baru.''

''Oke, kalau begitu boleh menunda jawaban?''

''Kalau itu boleh,'' kau tersenyum seperti anak kecil yang sedang memamerkan deretan gigi-gigi putihnya yang rapi. ''Aku harap jawabanmu nanti punya nilai lebih.''

''Ya, tapi kan ini bukan ujian.''

''Iya, tapi ini penegasan.''

''Untuk menegaskan apa?''

''Sesuatu yang harus ditegaskan?''

''Sesuatu itu apa?''

''Sesuatu yang ada padamu.''

Pembicaraan ini mulai membingungkan. Kita terdiam. Ada jeda cukup lama.

Aku menikmati teh hijauku dan kau menikmati kopimu. Aku mampu mendengar setiap hela nafasmu di tengah keheningan itu. Aku melirik ke arahmu dan menatap wajahmu cukup lama. Aku tersadar saat kau menatapku balik dan permisi. ''Aku ke toilet sebentar.''

Setelah kau pergi aku menghela nafas cukup panjang. Jantungku sedikit berdebar. Mungkinkah karena aku ketahuan? Atau karena...?

Nafasku mulai tidak beraturan. Aku langsung menyusulmu. Kau sedang bercermin di depan kaca saat aku masuk ke dalam. Aku berjalan pelan mendekatimu, merangkul bahumu, lalu menciumimu dengan lembut.

Maaf Billy, aku tidak bisa menunda jawaban.

***

[BASTARDOX.220118]

My Blued MoodWhere stories live. Discover now