[Satu] Rasanya asin

15.9K 966 111
                                    

Terdapat sebuah rumah yang terlihat dari luar begitu sederhana. Dengan ukiran kayu sebagai dinding dicat berwarna merah yang sudah memudar berjalannya waktu. Beberapa meter dari belakang rumah terdapat sebuah danau alami. Masih begitu asri dan udara yang masih segar. Tidak ada polusi.

Disekeliling danau di tumbuhi tanaman liar. Saling bertaut satu sama lain. Tumbuh dan berkembang tanpa ada yang mengusik. 

Beralih ke area depan rumah. Bebatuan kerikil sebagai jalan. Rumput hijau yang mengelilingi pohon besar yang sudah sangat tua. Rantingnya bahkan sudah menyentuh atap rumah. Daun yang kering dan sudah berwarna coklat lepas dari rantingnya, berserakan tertiup angin. Menambah kesan mencengkam. Rumah tersebut dikelilingi oleh pohon-pohon. Jauh dari penduduk desa ataupun perumahan lainnya.

Sebuah mobil memasuki kawasan tersebut. Menurunkan kecepatannya sampai akhirnya berhenti didepan rumah. Tampak seperti biasa tanpa rasa takut. Ia mulai menuruni barang miliknya dari bagasi mobil. Satu tangannya memegang benda pipih yang ditempelkan di telinga.

"Iya Mama. Pasti aman kok, bukan main aman. Tenang aja gak akan buat masalah lagi. Iya sayang, hate you to beb,"

Lelaki itu, Brayn. Menghembuskan napasnya pelan sembari memasukan ponsel miliknya ke saku celana pendek yang ia kenakan. Brayn menutup bagasi mobil. Mengedarkan pandangannya ke lingkungan rumah. Kotor layaknya rumah yang tak berpehuni.

"Baru ditinggal tujuh bulan udah kaya rumah hantu aja," gumamnya. Berjalan mengitari mobil. Duduk diatas kap mobilnya untuk beristirahat sejenak dibawah pohon rindang.

Suara burung yang saling balas membalas. Ranting-ranting pohon yang bergoyang tertiup angin. Brayn memejamkan matanya. Menikmati belaian angin yang menyapu wajahnya. Menarik napas dan menghembusannya pelan. Melakukannya berulang kali hingga merasa tubuhnya merasa ringan.

"Stop Zoey. Don't kiss me,"

Brayn membuka matanya. Belum berniat untuk beranjak dari posisinya. Ia menatap sinar matahari dari sela-sela daun dan ranting pohon. Matanya menyipit begitu daun yang menghalau sinar matahari bergoyang membuat matanya silau.

Begitu banyak kejadian yang menguras otak dan tenaga beberapa bulan ini. Dimana Brayn harus meminum pil tidur untuk beristirahat. Karna setelah kejadian pahit yang menimpa hidupnya, Brayn tidak pernah tidur dengan tenang. Tentu saja tanpa sepengetahuan Syanes. Ia juga memohon pada William agar dibuatkan resep obat.

Bukan tandanya ia bergantung pada obat tertentu untuk tidur. Brayn hanya meminumnya ketika ia sudah merasa mulai lelah dan ingin tidur dengan lebih lama dari biasanya.

Kedua kelopak matanya menutup dan terbuka dengan pelan. Brayn menarik nafasnya sebelum bibirnya terbuka.

"Satu-satu aku sayang kamu. Dua-dua kamu sayang aku. Tiga-tiga kita main sayang-sayangan. Satu dua tiga sayangnya hanya khayalan,"

Brayn membuang napasnya kasar. Entah kenapa lagu yang biasanya ia nyanyikan sebagai lelucon terasa lagu paling mencengkam dengan suasana yang sedikit aneh.

Hal yang paling Brayn suka tinggal disini adalah duduk diatas mobil menjelang sore. Menikmati angin dengan pemandangan danau yang membentang. Bisa sampai berjam-jam ia duduk disana. Menjadikan tangannya sebagai bantal. Entah berapa lama lagi ia akan duduk diam.

Merasa penglihatan semakin gelap, akhirnya Brayn bangkit. Ia merenggangkan otot tubuhnya sebelum meloncat turun. Mendorong dua koper miliknya masuk ke rumah. Begitu pintu terbuka, debu dan sarang laba-laba menyambutnya. Bahunya merosot dengan menatap sendu rumah yang baru saja ia buka.

"Jadi yang bersihin rumah siapa?"

"Ya elo lah, Bray." Ujarnya menjawab pertanyaannya sendiri. Brayn mengibaskan tangannya didepan wajah. Menghalau debu.

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now