Prolog

36 4 4
                                    

Cuaca beberapa hari ini sedang kurang bersahabat. Angin yang lumayan kencang dengan cepat membawa pergi awan-awan mendung yang menggelayut sejak pagi tadi. Hujan pun enggan berlama-lama menyapa bumi yang mulai gersang. Titik-titiknya terpaksa meninggalkan rasa gerah, segerah perasaanku seharian ini. Berada dalam keramaian semu, menyalami tamu satu per satu dengan senyum yang seolah bahagia. Demi sebuah kata, pernikahan.

Sepuluh menit lebihnya dari pukul sebelas malam ini, aku terjebak dalam ketololan paling hakiki. Pengantin baru yang belagak minggat, tapi entah mau ke mana. Dan konyolnya, aku cuma sempat menyambar kardigan tipis dan sling bag yang isinya hanya sekitar dua ratus ribu saja. Ponsel dan dompet yang berisi kartu identitas serta ATM, kurasa masih tergeletak di atas nakas. Dan yang paling penting, kaca mata, for God sake, kenapa sampai tertinggal?

Kupercepat langkah menyusuri trotoar yang sedikit basah menuju ke hotel tempatku dan Rayyan menginap. Mungkin nanti aku akan bertemu dengannya dan dia akan bertanya tentang kekonyolan ini. Eumm ... kuharap tidak. Sampai selesai perhelatan siang tadi, dia masih saja judes. Belum lagi telepon dari Sarah, pacar yang belum diputusnya, entah sudah berapa kali membuat Rayyan sibuk menjawabnya selagi barisan para tamu mengular ingin menyalami kami berdua. Jadi, persetan dengan pria itu. Yang penting sekarang, segera kudapatkan kembali dompet, ponsel, serta kaca mata, lalu menyingkir jauh darinya.

Rupanya, beranjak malam angin justru makin sibuk menari dengan liar. Kurapatkan kardigan tipis tak berkancing untuk menutupi dadaku. Kurasa nanti perlu juga membawa serta beberapa lembar baju selama masa minggat. Benar-benar ketololan yang nggak terampuni. Beginilah kalau minggat tanpa rencana. Tadinya hanya ingin menghindar dari Rayyan dengan menikmati beberapa cangkir green tea late di Cafe Unicorn yang berjarak hanya sekitar tiga ratus meter dari hotel. Tapi akhirnya aku berubah pikiran dan ingin minggat jauh-jauh supaya nggak lagi melihat Rayyan yang selalu bicara mesra dengan Sarah dari ponselnya.

Kembali kupercepat langkah. Hawa dingin dan rasa pegal di kaki akibat berdiri seharian di resepsi pernikahan membuat jarak ke hotel terasa memanjang. Apalagi terbayang juga harus bertemu Rayyan dan sedikit berbasa basi dengannya. Sungguh mengesalkan!

Saat melewati taman persis di tikungan terakhir sebelum jalan setapak terdekat menuju hotel, tiba-tiba seseorang menyejajari langkahku. Sontak aku sedikit terpekik, kupikir ada orang yang akan berbuat jahat. Apalagi jalan setapak yang nggak sengaja kutemukan sore tadi, sangat sepi dengan pencahayaan minim.

"Diza!" suara laki-laki dari balik wajah yang hampir tertutup topi, menyapaku. Aku memalingkan wajah kepadanya, sambil tetap memasang sikap waspada.

Kuperhatikan wajah itu dengan seksama. Cahaya lampu yang nggak begitu terang, ditambah lagi sedang nggak pakai kaca mata, membuatku membutuhkan waktu agak lama untuk mengenalinya.

"Ka ... Ray?" pekikku sedikit lega, karena ternyata pria itu bukan orang jahat. Dia Rayyan, orang yang menikahiku pagi tadi.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku setelah berhasil menguasai keadaan. "Bikin kaget tau!" tapi dia hanya menatap dengan pandangan yang aku sendiri nggak tahu apa artinya.

Dia hanya memberikan isyarat dengan gerakan kepala yang berarti aku harus mengikutinya. Aku pun mengekornya menuju hotel.

Ada apa Ray malam-malam begini tiba-tiba muncul dari dalam taman? Habis ngapain di taman?

From Now OnWhere stories live. Discover now