"Aku merasa malu untuk datang ke sini." Yoona membuka suara setelah pita suaranya lenyap menyusuri keheningan dalam lorong-lorong ingatan. "Sebetulnya aku sangat takut, Seol."

Ia tahu semua yang terjadi pada Yoona. Semua yang telah dan bakal terjadi. Tetapi Seola selalu diam: sekalipun waktu ia tahu alasan Yoona meninggalkan asrama biarawati. Pada hari itu bukan ia tidak sedih dengan diam saja, Seola sangat sedih. Semalaman ia berdoa dan merenung, berharap doanya dikabulkan (paling tidak Yoona diberkahi kembali keinginan yang sama).

Tetapi ia tidak diberikan lagi keberkahan itu. Yoona tetap pergi; dari janjinya, dari tuhannya.

"Kalau kamu takut, kamu tidak akan pernah datang lagi ke sini."

Yoona mengembuskan napas. Dua katup bibirnya menyatu dalam hening. Fragmen itu kembali hadir, menginvasi setengah isi kepala. Ia luruskan pandangannya ke depan, nun jauh menilik apa yang sudah terjadi.

"Seseorang menyukai dirinya." Kali ini ia menunduk, layu seperti daun yang berjatuhan di atas kepalanya. "Padahal aku terlalu menyukainya."

"Gadis itu benar-benar berharga untukmu, ya?" Seola bergumam, melirik Yoona sejenak. "Aku tidak pernah tahu bahwa ada yang lebih berharga daripada Tuhan. Kurasa gadis itu juga yang membuat Jung Kook memutuskan menyerah─sama sepertimu. Benar, kan? Gadis yang sama."

Christa adalah gadis yang sangat berharga (dan Seola tidak pernah tahu tentang itu). Suatu sore saat udara begitu hangat, ketika ia dan para calon biarawati yang lain berjalan menuju gereja untuk berlatih menyanyi, secara tidak sengaja seorang gadis seusianya menghampiri.

Mungkin Christa sendiri tidak akan ingat, tetapi Yoona ingat. Surai legam panjangnya berkibar, berhias senyum ia hampiri Yoona. Mereka berhadapan. Sekali kedua iris mereka bertumbukan. Kedua, tatapan itu semakin dalam. Ketiga, bergetarlah jantung Yoona, berdesir darahnya.

Ia stagnan, melupakan sekitar dan rombongan biarawati lainnya sudah jauh meninggalkannya.

"Ini." Christa tersenyum, menyerahkan sebuah bros berbentuk daun. "Milikmu. Tadi terjatuh."

Saat itulah ia sadar bahwa ia telah menjadi berbeda. Sepeninggal Christa, malamnya ia tidur tak nyenyak. Saban hari ia terbayang oleh senyum manis gadis itu. Sampai suatu malam ia mengambil keputusan berat: bahwa ia telah jatuh hati pada gadis itu.

Pada senyumnya yang tulus. Sementara ia hanya seekor semut yang terlalu menyukai gula-gula. Yoona tak bisa berhenti dan tahu kalau ia takan bisa berhenti. Yoona tak akan bisa menikahinya. Tetapi ia cinta. Yasudah, ia memang mencintainya.

Tidak ada sesuatu yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang kosong.

Dan pada malam-malam yang dingin; Yoona merenung sampai jenuh. Tidakkah berarti hatinya selama ini kosong? Lalu, bagaimana dengan Tuhan? Bukankah ia sebelum bertemu dengan Christa mencintai Kristus. Tetapi mengapa hatinya tidak bergetar sedemikian sama? Atau memang dia selama ini tidak mencintai-Nya?

Tahu-tahu waktu sudah berlalu selama satu lustrum. Tidak pernah ada jawaban yang ia peroleh selain jawaban bahwa ia jatuh cinta pada Christa.

Meskipun, di dalam kepala ia selalu bertanya; mengapa ia jatuh hati pada Christa? Mengapa ia terlahir sebagai perempuan?

Berbicara tentang dosa, semua manusia itu berdosa sebab itulah Yesus disalib untuk menebus semua dosa para manusia. Tetapi, berbicara tentang cinta, tentang seks, itu adalah pokok yang membingungkan. Pokok yang abu-abu dan tidak pernah ada jawaban benar ataupun salah.

Membaca literatur tentang seks selama bertahun-tahun (mungkin Yoona berpendapat bahwa cinta adalah bagian kecil dari seks), pendapat dan peraturan, yang berabad-abad diciptakan oleh kaum lelaki. Para rabi dan bapa-bapa Gereja yang berpendapat bahwa wanita penuh dengan berahi sehingg berbahaya dan patut dikucilkan.

Namun, Yoona setuju ketika ia membaca; ulama justru mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif, dan enggan secara seksual, sehingga secara alamiah lelaki berpasangan dengan banyak istri.

Mungkin karena itu, Yoona tak pernah tertarik dengan laki-laki melainkan perempuan. Selama berabad-abad perempuan adalah makhluk yang polos, yang selalu dipersalahkan dan digenderisasi; harus seperti ini dan itu, tidak boleh begini dan begitu. Dan dalam meditasi-meditasi panjang, ia tak bisa menafsirkan kenapa harus lelaki yang jadi otoriter sementara perempuan dijadikan proletar.

Tuhan barangkali hanya tahu mengenai dosa; tetapi ia tetap memberikan godaan itu. Bukankah Tuhan Mahabaik? Tidakkah harusnya ia tiadakan saja dosa dan godaan kalau ia sayang dan ingin semua domba-dombanya memasuki firdaus.

(... dan Yoona memang bimbang tentang Tuhan, tetapi tidak bisa mengatakan pada siapa pun kecuali hati kecilnya).

"Ini bukan tentang siapa yang lebih berharga, Seol. Ini adalah soal keterlanjuran. Bukankah Ia yang mengatur apa dan kelak akan terjadi? Kalau begitu, aku begini karena keinginannya. Karena Kristus tidak menebusku dan ingin aku berdosa."





ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Where stories live. Discover now