Bab 03 Popcorn!

23.9K 3.3K 138
                                    

Tidurku tidak nyenyak. Bahkan mungkin bisa dikatakan tidak tidur sama sekali. Dan hari ini mataku benar-benar seperti panda. Ada lingkaran hitam di sekeliling kelopak mata.

Akhirnya aku ijin tidak masuk kerja karena sakit. Di samping aku masih malas dengan perlakuan Rafa kemarin, keadaanku juga tidak memungkinkan aku untuk masuk kerja. Tubuhku benar-benar terasa lemas saat ini.

"Loh Re, sakit ya? Pucat banget gitu."

Suara bunda membuatku menganggukkan kepala. Setelah salat subuh tadi aku mencoba untuk tidur lagi. Tapi nyatanya juga gagal. Ini gara-gara si Rasya. Dengan seenaknya melamarku. Tapi apakah ucapan Rasya kemarin bisa dikatakan lamaran?

"Aaahhh.."

"Hei kamu itu kenapa to nduk? Kayak orang kesurupan aja."

Bunda kini meletakkan satu piring nasi goreng di atas meja makan. Untung saja Reno sudah berangkat kuliah. Kalau tahu aku begini dia pasti mengejekku.

Pagi ini aku masih pakai piyama tidurku yang bergambar piyo-piyo dan berwarna kuning cerah. Kupakai asal kerudung instan dari kaos yang memang sering aku gunakan di rumah. Enggak ribet dan bahannya adem.

Aku membantu bunda merapikan piring-piring yang disusun di meja makan.

"Lagi mumet Bun. Rere boleh tidur seharian ya, Bun?"

Bunda langsung menggelengkan kepalanya begitu mendengar ucapanku.

"Re, kamu itu udah 30 tahun. Kalau kerjaannya libur kerja cuma tiduran aja gimana Bunda mau dapat cucu coba?"

Tuh kan. Bunda mulai lagi. Aku menarik kursi dan langsung duduk. Mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan selai sarikaya yang tersedia.

Bunda juga ikut duduk di depanku lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng.

"Ish Bun itu lagi itu lagi. Pokoknya Rere ngambek kalau ngomongin cucu lagi."

Bunda menggelengkan kepalanya lagi. Aku celingukan ke sana ke sini untuk mencari ayah. Kalau ada ayah aku pasti bisa terselamatkan dari teror bunda mencari cucu.

"Udah nggak usah ngeles kamu. Cariin ayah kan? Udah berangkat ama Reno tadi."

Bunda tahu ilmuku menghindar dan kali ini aku pasti terkena ceramah panjang lebar lagi.

"Nduk, mbok ya terima aja siapa yang mau ngelamar kamu. Jangan jual mahal toh. Udah tua gitu kok."

Aku langsung meletakkan roti tawar yang baru aku makan separo di atas piring. Bunda selalu begitu. Blak-blakkan kalau udah ngomong.

"Rere udah dilamar kok Bun."

Aduh aku kenapa ngomong gitu ya?

Dan mata bunda langsung berbinar begitu.

"Eh siapa Re? Alhamdulilah."

Aku merasa berdosa kalau berbohong kepada bunda. Tapi aku mau gimana lagi. Masa aku bilang kalau Rasya yang melamarku?

"Assalammualaikum warahamtullahi wabaraktu. "

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatu."

Aku dan bunda menjawab salam itu. Dan saat aku menoleh ke arah tirai yang terbuka, ada Rasya di sana. Aduh. Pipiku langsung terasa panas.

"Eh ada Rasya. Duh si Reno tadi udah berangkat duluan sama ayahnya."

Aku tidak berani menatap Rasya. Pura- pura mengambil roti yang ada di atas piring.

"Iya Bun. Maaf mengganggu waktu sarapannya. Saya cuma mau memberikan ini buat Mbak Rere."

Mendengar namaku disebut tentu saja aku langsung menatap Rasya. Tapi bocah itu malah tidak menatapku. Ada map berwarna coklat yang dia letakkan di atas meja.

"Owh buat kamu nih, Re."

Bunda menggeser map itu ke arahku. Tapi aku masih menatap Rasya.

"Sya. Ini apa?"

Rasya langsung menoleh ke arahku.

"Maaf Mbak, saya lancang. Tapi tentang semalam saya serius. Ini cv saya untuk Mbak pelajari."

Deg

Aku tentu saja langsung mengalihkan tatapanku ke bunda yang kini tampaknya mengangkat alisnya dan menatap aku dan Rasya bergantian. Bunda pasti sudah mempunyai pikiran yang macam-macam nih.

"Saya berangkat kuliah dulu ya. Bunda, Rasya pamit ya, Mbak Rere."

Aku hanya mengangguk dengan kaku. Sedangkan bunda malah mengantar Rasya sampai keluar rumah.

Jantungku masih berdegup kencang saat meraih map itu. Tapi suara dering ponsel membuatku terkejut.

Ponsel yang sejak tadi aku letakkan di samping piring di atas meja makan itu kini menarik perhatianku.

Kuurungkan niatku untuk membuka map itu. Meraih ponsel. Dan mendapatkan pesan  dari Raffa.

"Re. Maafkan sikapku kemarin. Kamu sakit ya? Mau aku antar periksa?"

Langsung kuabaikan pesan dari Raffa. Kenapa dia tidak berhenti saja mengejarku? Kalau dia terus begini, aku kan bisa goyah. Raffa itu ganteng, kaya dan banyak disukai cewek. Terutama aku. Tapi kan dia udah menikah?

Saat aku letakkan ponselku lagi. Bunyi pesan wathsapp masuk. Dan Ragil mengirimiku emoticon cinta. Satu lagi orang yang makin membuatku galau. Raffa dan Ragil itu cowok-cowok yang diberi keindahan yang luar biasa. Tapi sayang lagi mereka sudah ada yang punya.

Dengan kesal aku mulai mengambil map itu lagi.

"Aaahh jangan bilang sama Bunda kalau yang melamar kamu itu... "

Aku langsung menggelengkan kepalaku saat bunda langsung merebut map itu.
Bunda dengan terburu-buru membuka isinya. Aku hanya bisa menghela nafas. Kalau sudah sampai ke bunda itu lain lagi ceritanya.

"Eh ini serius loh Re. "

Bunda memberikan kertas berwarna putih dengan tulisan di atasnya itu kepadaku.

"Assalammualaikum Jodoh."

Aku langsung memekik saat membaca kalimat pembuka di cv Rasya itu. Kuletakkan lagi di atas meja. Aku takut.

"Loh malah diletakkan lagi."

"Bun, Rasya Bun. Dia yang berniat melamarku. Astagfirullah. Dia itu masih piyik Bun. Usianya aja jaraknya 6 tahun sama aku. Masih popcorn. Berondong."

Bunda langsung tersenyum dan kini duduk di sampingku.

"Berondong gitu kalau memang malah bisa menjadi imam kenapa tidak?"

Bersambung

Iya kisah ini di republish ya biar lebih greget

Assalammualaikum Jodoh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang