Chapter 1

51 4 3
                                    

Kota tua sangat menarik bagiku. Tak pernah bosan dan tak pernah absen aku mengunjunginya, aku selalu bersemangat jika menemukan wajah-wajah dari mancanegara yang datang silih berganti. Walau mereka tak mengenalku tapi aku mencoba sok akrab dengan mereka. Turis-turis disini selalu memperhatikan gerak gerikku tapi mereka sangat sopan.
Incaranku kali ini adalah turis Eropa. Hmm... pasti seru sekali bermain dengan mereka. Lidahku sudah keriting jika mengobrol dengan bahasa Hankuk atau Nippon. Aku membayangkan jika aku bertemu dengan laki-laki tinggi, atletis, hidung mancung, kulit putih, rambut pirang, mata biru, ramah dan kyaaaa!!!
Huh, mukaku memerah lagi. Calm down Asha! Kamu ga boleh berkhayal dulu, jangan sampai kamu disangka orang gila dan membuat bule-bule ganteng itu ilfeel sama kamu. Keep cool! Fighting!

                          🍀🍀🍀
Saat itu aku masih kecil, kira-kira masih berumur 7 tahun. Aku terbiasa sendirian dirumah bermain bersama sepupuku Aristian Harison Inoue. Ya, panggil aja dia Tian. Dia blasteran Jepang dan US-Indo. Mamanya Tian, Tante Ann adalah kakak dari papaku yang blasteran Indo-Us ternyata memiliki keturunan yang blasteran juga. Papanya tian orang Jepang asli, namanya Om Shin. Ga usah aku jabarin panjang lebar lah tentang keluarga Tian. Toh, tokoh utama novel ini juga Ashfea kok bukannya si Tian.
Nah, dari Tianlah aku belajar bahasa Jepang. Pelafalannya fasih seperti papanya karena dia menuruni otak cerdas mamanya yang selalu mudah mempelajari sesuatu. Otaknya seperti alat perekam, yang siap menangkap apa saja yang ia lihat tanpa takut memorinya akan terhapus.

Aku cukup senang memiliki Tian disisiku. Anak humoris dan cerdas yang baik hati. Menemaniku disepinya rumah dari papa dan mama. Hingga hari itu datang. Saat aku berumur 7 tahun, Tante Ann dan Om Shin berniat kembali ke Jepang yang berarti aku akan kesepian.
Tian sebenarnya juga sedih dengan perpisahan ini, namun ia berusaha tegar dan berusaha menghiburku agar tidak larut dalam kesedihan.

Hari terakhirku bersama Tian penuh dengan kebahagiaan. Seharian itu kami habiskan untuk bermain sesuka kami, Tante Ann membebaskan kami untuk melakukan apa saja atau jalan-jalan kemana saja sesuka hati kami. Tapi aku dan Tian hanya ingin menghabiskan waktu terakhir kami dirumahku. Kami saling bercanda, bernyanyi, bersembunyi, dan menggambar bersama . Entahlah, kenapa Tian begitu berharga bagiku. Aku hanya merasa sangat gembira bila didekatnya, karena hanya dia yang mau menemaniku ketika mama dan papaku sendiri meninggalkanku hanya untuk urusan yang mereka bilang sangat penting. Lebih penting daripada anaknya sendiri.

Tian menggambar langit malam dengan kata-kata yang sangat memotivasiku, dia memberikannya saat akan berangkat ke bandara.

"Asha, ini gambar yang kita buat kemarin. Ini untukmu. Semoga dengan ini kamu bisa tetap mengingatku ya. Jangan sedih, perbaiki terus bahasa asingmu... kalau bisa kamu pelajari semua bahasa. Agar kamu bisa berkomunikasi dengan semua orang, dari semua mancanegara. Aku tunggu kesuksesanmu sebagai tour guide nanti. Jangan lupa ajak aku jalan-jalan ya? Oke, sampai nanti. Pesanku jangan kamu benci orangtuamu ya. Mereka ga meninggalkanmu. Justru mereka sedang mencari uang untuk pendidikanmu. Ganbarimasu!!!"

Semuanya berlalu. Pesawat pun sudah lepas landas. Aku kembali terdiam. Hingga pak Anto mengajakku pulang.

Setiap hari dikamar, aku membuka kertas gambar dari Tian sebelum tidur, aku membingkainya agar tidak usang. Karena kalimat itu amat berharga bagiku. Kalimat dari Tian itu,
"Aku sama seperti mu Asha. Makanya aku selalu ada untuk  menghibur mu. Ada di dekatmu. Itu  membuatku bahagia. Jadi, walau aku tidak ada di sisimu nanti aku ingin kau bisa menjadi aku. Yang menghibur orang lain dan membuat kau dan mereka bahagia. Pelajarilah semua bahasa. Agar kau bisa membahagiakan mereka dengan kosa kata yang kamu punya.

                                Sweetest cousin,
                                          Tian"

Aku punya semangat dari Tian. Ternyata kehidupannya sama seperti kehidupanku. Ya ampun, bagaimana mungkin aku bisa tidak tahu akan hal itu. Tian yang ceria, Tian yang gembira. Sangat jauh dari kata menyedihkan sepertiku. Aku yang menyendiri, aku yang mengeluhi kehidupan sendiri. Ternyata telah menyusahkan orang yang begitu baik padahal kita sama-sama menderita. Tian, kamu hebat. Semangat dari kalimat mu itu terus mangalir di darahku. Walaupun kamu sudah  sudah tak ada lagi. Walaupun kamu sudah pergi. Untuk selamanya.

Language For Love - Kisah Cinta Si Pecinta Bahasa Dan Si Pendiam Seribu BahasaWhere stories live. Discover now