"Oke!" serunya kesal, "Apa maumu?"

"Satu fakta sehingga aku bisa percaya bahwa kamu mengatakan hal yang benar. Fakta bahwa kamu menemaniku dalam perjalanan ini karena permintaan Ravi dan bahwa ini memang apa yang kau ingin lakukan."

"Segala tindakanku sudah cukup menjelaskan 'kan? Kau mau aku bicara apa supaya yakin?"

Nova memeluk lututnya lagi. Gadis itu berkata, "Kau dan Mama Lola."

"Yang benar saja. Aku benar-benar tidak mau membicarakan hal itu. Aku akan memberitahumu jika waktunya tepat," Luke meregangkan tubuhnya dan mengambil lembaran sketsa lagi untuk dicocokkan dengan punggung gadis itu dan memastikan, "Apa itu cukup?"

Nova menggeleng.

"Ck, dasar keras kepala," gerutunya dan tidak membicarakan hal itu lebih jauh, "Intinya, kau mengingatkanku pada seseorang; untuk sekarang hanya itu. Maaf saja ya Non, kau akan terus bersamaku sampai Ravi berkata oke untuk meninggalkanmu sendirian."

"Memangnya aku bisa memilih?" gumam Nova.

"Tidak," Luke memberikan satu lembar lagi sketsa pada Nova dan mengatakan bahwa itu adalah lembaran terakhir.

Tidak percaya, gadis itu berbalik menghadap Luke; di tangannya tidak ada lagi lembaran kertas yang tersisa. Mengenakan kembali kaosnya, ia pun mendapati bahwa dari lembaran yang sudah tersusun, masih ada kertas yang hilang. Mengecek kembali lembaran sketsa itu, Nova tidak memahami artinya. Hamsa, mandala, mandala lagi, beberapa lingkaran dengan detil yang rumit, matahari, bulan, dan angka-angka. Simbol raksaka di tangan kanannya pun ada, tetapi tidak dengan tulisan di lengan bawahnya. Seolah-olah sengaja dilenyapkan, semua sketsa berupa aksara tak ada pada tumpukan kertas itu.

"Apa kau pikir ini tidak aneh, semua sketsa yang diberikan padamu kebanyakan adalah gambar dan angka-angka. Tidak ada tulisan serumit di lenganmu atau mungkin punggungmu.

"Itu juga yang aku pikirkan," gumam Nova, menggigit telunjuknya, "Kenapa? Kenapa harus tulisan yang menghilang? Bukan gambar yang lainnya?"

"Apa kau tahu gambar apa yang ada di balik luka bakarmu itu?"

Nova menggeleng, mengatakan bahwa dia tidak suka melihat tubuhnya di cermin sejak tubuhnya dirajah, "Aku tidak tahu dan tidak mau tahu...waktu itu."

Luke berdecak, "Keputusan yang salah, huh."

"Tidak usah diperjelas," gerutu Nova kemudian duduk bersila di hadapan susunan sketsa itu. Gadis itu bertanya, "Menurutmu, tato di punggungku menggambarkan apa?"

Luke mengangkat sebelah alisnya, "Sekarang kau bertanya padaku?" ia terdengar gemas, tidak percaya.

"Kamu kan yang melihat punggungku!"

Luke menghela napas dan duduk di samping Nova. Pria itu berkata bahwa dia sendiri tidak pernah bertemu dengan Flint Sarojin dan mengerti akan pola pikirnya. "Kau saja enggak paham akan hal yang ada di badanmu sendiri, apa lagi aku?" ucapnya.

"Siapa tahu, kau bisa melihat simbol-simbol dan mengartikannya dalam hal lain."

Luke mendengus, "Hah, bukan orang macam itu. Maaf saja," ia mengambil satu lembar sketsa berisikan mandala, memutar-mutarnya ke berbagai arah seolah-olah bisa mendapatkan sesuatu dari sana. "Dari pada mencari hal yang tidak ada, bukannya lebih baik kalau melihat dari yang sudah tertera di depan? Menurutmu kenapa banyak sekali gambar lingkaran seperti ini? Di sebelah sini, di sini, dan di sini."

"Itu namanya mandala," koreksi Nova, "dan secara umum mandala menggambarkan sebuah kesatuan yang luas, tak hingga, bahkan dikatakan sebagai semesta. Orang-orang menggambarkannya untuk mencapai titik ketenangan, jimat, penjaga."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now