Sebelas: Ali Pulang

Mulai dari awal
                                    

"Selamat ya cmiw. Kamu akan dirawat di rumah pria tadi."

Tin-tin-tin!

Suara klakson mobil di belakang Maira. Raska keluar dari mobil CRV hitam mengilat, menghampiri Maira. Ia membuka pintu mobil bagian depan di seberang pintu kemudi. Maira melihat seorang pria tengah duduk di jok belakang mobil. Akhirnya Maira masuk ke dalam mobil itu dengan perasaan was-was, sembari tetap menggendong kucing kecil yang ditemukannya di trotoar.

"Wah! Wah! Lo kebangetan, Ka!" ucap pria yang sedari tadi asyik bermain game di macboook-nya, ketika melihat Raska kembali duduk di jok kemudi. Perlahan menjalankan mobilnya, menjauh dari pelataran kantor. Ia ingin cepat sampai di rumah untuk mengenalkan Maira kepada Mamanya. Ia menambah laju mobilnya, meski jarak kantor dan rumahnya tidak terlalu jauh.

"Kenapa?"

"Lo yakin mau bawa pulang ini cewek? Emang lo tahu dia cewek?" Maira hanya diam sembari berpura-pura tidak meggubris perkataan teman Raska.

"Ri, lo diam. Ok?" tukas Raska kepada Rio, membuat Rio kembali fokus dengan macbook-nya. Setelah mendengus kepada Raska.

"Maaf, Rio suka keterlaluan kalau bercanda." Nada Raska melembut kepada Maira sembari fokus menatap jalanan di depannya.

"Eh! Gue nggak bercanda!"

"Rio, jaga kalimat lo."

"Raska! Lo jangan mau dibegoin sama manusia bentukan seperti ini. Gimana kalau dia jelek? Atau teroris? Atau dia bekas jalang? Lo—"

"Stop!" Maira bersuara dengan tegas, namun suaranya kecil tertahan. Raska memelankan laju mobilnya ketika mendengar suara Maira. Rahang Raska mengeras dan wajahnya memerah mendengar kalimat Rio. Tangannya pun ikut terkepal.

"Berikan alamat rumah, Tuan." Raska menoleh terkejut mendengar kalimat Maira.

"Oh! Lo budak seks Raska yang baru?" Rio meneruskan ejekannya, tak memedulikan jika kalimatnya mampu melukai Maira. Ia hanya ... tidak menyukai perempuan itu. Perempuan yang terlalu fanatik dalam agama, menurutnya.

"Saya turun di halte depan." Raska benar-benar marah saat ini, iris elangnya semakin menyorot tajam ke arah Rio. Apalagi mendengar kalimat Maira dengan suara yang menahan amarah serta tangis.

"Rumahku sudah dekat. Tolong, maafkan kalimatnya."

"Maaf. Saya harus turun." Raska menghela napas, lalu mengalah dan menepikan mobilnya tepat di sebuah halte bus. Maira segera beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di halte.

"Rio! Lo nggak seharusnya ngomong gitu sama dia. Lo harus tahu! Kalau dia beda dengan perempuan di luar sana. Lo tahu kan, dia itu Maira. Maira yang kita kenal di pesantren, Maira yang hafidzah dan dekat dengan putri Kyai Rozaq, Maira yang—"

"Maira yang menolak lo berulang kali?"

"Apapun yang terjadi saat itu adalah hal yang terbaik," tegas Raska kemudian keluar dari mobilnya menyusul Maira. Rio hanya mendengus kesal.

"Maaf, aku minta maaf atas perkataan Rio. Aku tahu kamu marah. Tapi—"

"Saya akan menemui Mama Tuan, di mana rumahnya?" Raska meringis mendengar nada dingin dan singkat Maira. Suaranya lembut, namun tertahan karena bahunya mulai berguncang kecil. Maira berusaha menahan tangis, berusaha menerima penghinaan untuknya.

"Terima kasih, gerbang berwarna hitam itu. Aku tahu, Rio keterlaluan. Seharusnya—"

"Tak masalah, saya sudah terbiasa."

Raska makin terpecut hatinya mendengar pengakuan Maira. Sementara, Maira berusaha menerima penghinaan baru untuknya 'budak seks' yang tidak pernah ia dengar sekalipun. Dan kamu hanya diam mendengar hinaan seperti itu? pikirnya.

"Permisi."

Maira melangkahkan kakinya meninggalkan Raska dan berjalan di bawah terik matahari. Tak melihat mobil Raska melintas melewati, tapi juga tidak menoleh ke belakang untuk sekadar memastikan keberadaan Raska. Ia terus melangkahkan kaki mungilnya yang ia tahan agar tidak terpincang.

Sementara Raska, masih berdiri memandangi Maira yang beranjak menjauh dari halte. Raska merasa hatinya ikut terbawa dengan kepergian Maira. Ia melihat Maira berhenti di depan gerbang yang tertutup, lalu satpam penjaga rumahnya mengibaskan tangan di depan wajah Maira. Ia berlari tanpa memedulikan mobilnya yang terparkir. Napas yang tersengal dan kaki pegal, tidak ia pedulikan karena amarahnya memuncak kembali.

"Pak Raska kenapa lari-lari?" tanya satpam yang berusaha mengusir Maira saat melihat Raska berlari mendekat. Tanpa mengambil jeda, Raska mencengkeram kerah satpam berkumis tebal itu dengan kasar.

"Lo! Berani ngusir dia? Hah?!" Suara Raska tajam penuh nada intimidasi. Satpam itu hanya berusaha menelan ludah yang menyangkut di kerongkongan.

"Ma-maaf, Pak."

"Maaf." Mendengar suara lembut Maira, amarah Raska mereda seketika. 

Seakan suara itu adalah bius yang mampu mengalahkan reaksi dari morfin dosis tertinggi. Ia melepas kedua tangannya dan memandang wajah Maira dari luar niqob. Ia menggaruk tengkuk yang tidak gatal—salah tingkah.

"Dia berani menyuruh kamu pergi."

"Tidak dengan kekerasan. Amarah hanya akan merusak segala yang baik." Raska mengangguk pelan. Beralih menatap satpam yang menunduk takut, karenanya. Satpam itu membuka gerbang untuk majikannya.

Raska berjalan mendahului Maira, ia berhenti di depan pintu berwarna putih dengan gagang emas. Tidak seperti biasa, ia akan langsung membuka pintu itu tanpa mengetuk. Namun, kali ini ia mengetuk pintu besar itu. Maira hanya diam memandangi pintu yang diketuk Raska.

Terdengar dari balik pintu, seseorang mendekat. Lalu pintu itu terbuka, menampakan seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam, lurus sebahu. Tersenyum menatap Raska di hadapannya. Tubuh mungil Maira terhalang badan tegap Raska. Raska menatap wanita itu lama, lalu meneteslah air matanya. Namun, bibirnya mengulum senyuman.

"Mama."

Wanita yang dipanggil Mama itu hanya diam sembari menatap putranya bingung.

"Ali pulang."

Wanita itu menangis sembari merengkuh tubuh tegap Raska dalam pelukannya.



-Fin-
———————————
Jangan lupa, tetap jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama.

Buku #1 | My Beloved Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang