Prolog

100K 4.5K 89
                                    

Aku membenarkan hijab warna biru muda yang aku kenakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membenarkan hijab warna biru muda yang aku kenakan. Sore begini, panas masih menyengat kota Yogya ini. Musim panas itu membuat Bunda senang karena cucian semua kering, tapi membuat aku jadi kesal karena penuh dengan keringat begini. Aku memang masih belajar untuk menjadi muslimah yang baik. Baru beberapa bulan ini memutuskan untuk menutup auratku dengan mengenakan hijab. Maka aku harus lebih banyak beristigfar kalau sudah ingin menyerah saja, setan masih terus membisikkan hal-hal yang harus aku hindari. Aku mantap mengenakan hijab. Bismilah.

Sore ini, aku memutuskan pulang naik trans yogya. Karena sudah satu bulan aku tidak lagi mempunyai supir pribadi, alias pacar. Dulu, saat masih berpacaran dengan Rusdi, dia rajin sekali menjemput dan mengantar, tidak pernah absen. Aku jadi merasa menyesal, dulu terlalu tergantung dengan Rusdi, karena sekarang jadi bingung sendiri harus pulang seperti ini. Manja, kalau ledek si Reno, adikku satu-satunya. Dia memang tidak suka aku berpacaran dengan Rusdi, selama 4 tahun ini dia yang selalu vokal mengenai hubunganku dengan Rusdi. Makanya, kemarin saat aku mengatakan putus dengan Rusdi, si Reno bilang mau bikin selamatan 7 hari 7 malam, karena aku sudah terbebas dari guna-guna Rusdi. Agak koplak memang adikku itu.

"Aduh."

"Mbak, jalan itu mbok ya dipakai matanya."

Semprotan itu membuat aku mendongak dari fokusku yang sedang mengusap kakiku yang sakit karena terantuk sesuatu. Seorang cewek dengan seragam SMA menatapku dengan kesal. Aku langsung menegakkan diri meski kakiku masih terasa begitu nyut-nyutan. Rupanya aku tadi menubruk sesuatu yang tak lain adalah tas segede gaban berwarna pink di depanku.

"Lah, saya ya jalan pake kaki, mosok ya pakai mata? Njuk piye coba?"

Cewek berambut pendek dengan bando warna merah menyala itu kini malah menatapku tambah jutek, lalu dia dengan cepat menenteng tas yang tadi aku tubruk itu dan pergi begitu saja. Lah itu tas isinya apa coba? Kok kakiku jadi nyeri banget rasanya.

"Anak jaman sekarang Mbak, ndak ada sopannya ya?"

Seorang ibu setengah baya yang sudah berdiri di sampingku mengatakan hal itu. Aku tersenyum kepada beliau "Injeh, Buk. Moga anak saya besok jangan begitu deh."

"Lha Mbaknya belum punya anak to?"

Aku menggelengkan kepala dengan cepat, dan Ibu tadi menatapku dengan tatapan meminta maaf.

"Oalah Mbak, kirain jenengan udah punya gitu. Wong udah seperti saya, Ibuk-ibuk."

Astagfirullah. Aku kembali beristigfar saat ini. Kenapa sih ujian pulang kantor sore ini begitu berat? 

Sebelum aku bisa menjawab Ibu tadi, tiba-tiba suara klakson membuatku terkejut. Aku yang berdiri di depan kantor dan baru saja akan melangkah kini benar-benar menghentikan langkahku. Ibu tadi juga sepertinya sudah naik ojek yang menjemputnya. Aku memang sejak tadi berhenti di halte depan kantor. Ingin berjalan ke arah pemberhentian Halte Trans Yogya, dan terhambat karena menabrak tas tadi. 

Assalammualaikum Jodoh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang