"Barbara Galeen? Mohon maaf, anda siapanya Barbara?" Tanya suster itu memastikan.

Megan sedikit tergagap. Apa yang harus ia katakan? Teman? Musuh? Kenalan dari laki-laki yang menghamilinya?

Keterdiaman Megan membuat suster itu memicing curiga. Akhirnya Megan memilih opsi pertama untuk identitasnya kepada suster itu. "Teman. Saya teman dari Barbara," ucap Megan.

Masih dengan raut curiga, suster itu akhirnya memberi tahu kamar rawat Barbara dan juga memberinya petunjuk arah.

Ketika Suster tersebut mengarahkannya ke kanan, disana Megan menemukan sosok yang ia kenal tengah duduk dengan kepala menunduk dalam. Tanpa menunggu arahan suster itu selesai, Megan sudah lebih dulu pamit untuk menghampiri laki-laki yang Megan yakini sebagai Alceo.

Beragam kemungkinan ekspresi Alceo terlintas di kepala Megan ketika laki-laki itu melihatnya nanti. Mulai dari senang, sampai terkejut. Megan sadar kalau hal kecil itu yang biasanya Megan bilang menjijikan, adalah hal yang membuatnya mencintai laki-laki itu.

Megan menghentikan langkahnya tepat di depan sepatu Alceo.

Perlahan, kepala Alceo bergerak lalu mendongak melihat Megan yang sedang tersenyum kecil kearahnya.

Megan bisa merasakan bibirnya bergetar ketika tersenyum. Ia merasa salah tingkah dan juga terkejut, karena ekspresi Alceo sama sekali tidak ia duga. Tidak ada senyum dan tidak ada keterkejutan. Wajah laki-laki itu dingin dan datar.

Awalnya ia mengira kalau itu hanya perasaannya saja. Hingga Alceo berkata dengan suara yang tidak Megan kenali sama sekali. "Untuk apa kau kemari?"

Senyum Megan menghilang ketika mendapatkan sambutan dingin itu. tidak ada kontak mata berlebih seperti yang biasa Alceo berikan. Laki-laki itu kembali menunduk seakan menatap Megan adalah beban lain yang mengusiknya.

"Menyusulmu." Megan bergumam kecil. "Aku sudah berjanji, kan?"

Alceo mendengus. Dengusan yang dapat Megan dengar dengan jelas beserta kekehan sinis.

Alceo tiba-tiba berdiri membuat Megan melangkah mundur karena terkejut. Tapi bukannya menghampiri Megan, justru Alceo malah melangkah menjauhi Megan kearah ruang rawat Barbara.

Megan terkejut dengan sikap Alceo. Ia spontan menahan lengan Alceo sebelum laki-laki itu semakin menjauh.

Lagi-lagi tindakan tidak terduga Alceo membuat Megan kebingungan. Laki-laki itu dengan kasar menepis tangan Megan seakan Megan adalah sebuah kotoran.

"A-al... ada apa?" Tanya Megan tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Bukan menjawab, Alceo malah melanjutkan langkahnya meninggalkan Megan.

Tanpa bisa berpikir panjang, Megan berlari mendahului Alceo dan merentangkan kedua tangannya untuk menghentikan langkah laki-laki itu.

Megan memicing menatap wajah datar Alceo lalu ia merentangkan tangannya. "Pegang tanganku," pinta Megan. Sebenarnya Megan tahu kalau itu sia-sia. Tidak mungkin Austin datang hanya dalam hitungan jam. Lagipula, tidak ada alasan logis kenapa Austin bersikap dingin seperti ini padanya. Begitu juga dengan Alceo. Kenapa laki-laki itu jadi sedingin ini dalam hitungan jam?

Alceo menatap uluran tangan Megan kemudian berkata, "kalau kau hanya datang untuk menggodaku, lupakan. Lebih baik kau pulang karena aku tidak mau melihatmu."

Megan tertohok dengan ucapan Alceo. Apalagi ketika Alceo berlalu lagi menabrak bahunya begitu saja, meninggalkannya dengan tangan terulur dan terlihat seperti orang bodoh.

Megan mengepalkan tangannya, memejamkan matanya dan menarik nafasnya. Kekesalan juga kesesakan mulai ia rasakan.

Dengan cepat Megan berbalik dan kembali menahan lengan Alceo hingga laki-laki itu berbalik.

"Bisa jelaskan apa yang baru anda katakan, Mr.Tyler?" Tanya Megan penuh penekanan. "Apa hanya karena saya tidak menjawab panggilan anda tadi, lalu anda-"

"Anak itu sudah tidak ada." Alceo memotong ucapan Megan sama datarnya. "Nyawa anak itu tidak tertolong."

"A-ap-a?" Megan terkejut. Tangannya yang menahan lengan Alceo perlahan kehilangan kekuatannya untuk mencengkram.

"Itu yang kau tunggu, kan?" Tanya Alceo sarkas.

"Apa maksudmu?!" Seru Megan tidak terima.

"Itu yang membuatmu ragu menerimaku, kan? Karena kehadiran anak itu?" Tanya Alceo tajam. Megan terkejut mendengar tuduhan itu. Ia hanya bisa menggeleng diantara kebingungannya. "Kau tahu, Meg? Aku kira kau berbeda dengan wanita lainnya. Aku kira kau lebih baik tapi ternyata... kau tidak jauh berbeda dengan mereka."

Ada kekecewaan dalam sorot mata Alceo ketika ia menatap Megan. Megan bisa melihat kristal-kristal bening dari mata Alceo yang mengancam untuk turun. Laki-laki itu terpukul.

"Aku tidak pernah berharap anakmu meninggal, Al..." lirih Megan. Air matanya sudah turun terlebih dahulu. Hatinya juga merasakan sakit mendengar kabar itu. Meski itu bukan anaknya, tapi ia tahu seberapa banyak yang Alceo korbankan demi mendapatkan anak itu dari Barbara.

"Lebih baik kau pergi, aku tidak ingin melihatmu disini," usir Alceo dengan dingin.

"Alceo!" Panggil Megan saat laki-laki itu berbalik meninggalkannya. "Al!!" Panggil Megan lagi namun ia tetap di abaikan.

Kaki Megan kehilangan tenaganya. Ia terduduk di kursi yang berada di lorong itu kemudian tertunduk sambil menangis. Menangisi sikap dingin Alceo, juga menangisi nyawa kecil yang tidak berdosa itu.

Sementara Alceo juga tiada beda. Begitu ia menghilang di tikungan, tubuh tegapnya kembali melemas dan air matanya mengalir begitu saja ketika ia kembali terduduk di kursi yang tersedia. Menangisi anaknya yang menanggung seluruh dosanya, dan menangisi cintanya untuk wanita yang baru ia tinggalkan.

 Menangisi anaknya yang menanggung seluruh dosanya,  dan menangisi cintanya untuk wanita yang baru ia tinggalkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tbc

Perlu aku sediain tisu gak? 😂

Sejujurnya aku sakit hati bikin chapter ini. Kayaknya aku emang pantes banget ya bkin cerita miris gini. 😂😂😂

Semoga suka gengs ❤❤

Bad Boy CEO And I [#MFFS 3]Where stories live. Discover now