Rona II: Indigo

2.7K 426 134
                                    

"Indigo!"

Yang dipanggil lekas menoleh—helai-helai rambut keritingnya tersibak angin sore seiring gerakan kepala. Satu tahun dipanggil demikian, Indigo telah terbiasa. Teramat, malah. Terlebih bila pemanggilnya adalah Pak Petuah, yang kini dilihatnya sedang melambai di kejauhan. Kala itu, Indigo sudah kebablasan berdiam di tepi tebing pinggir laut selama nyaris satu jam. Setelah mengikuti Pak Petuah memulung sampah sepanjang siang, dia berlari sekenanya untuk melamun di sana dan membiarkan angin sore membuainya.

Selepas mengangkat tangan kanan selaku respons terhadap panggilan Pak Petuah, Indigo sempatkan menoleh lagi ke arah laut—persisnya ke semburat jingga yang lambat laun ditelan hamparan air biru. Memasuki malam, memang sudah waktunya Pak Petuah menyuruh Indigo pulang seperti sebelum-sebelumnya. Hanya saja, pesona laut selalu ampuh melenakan Indigo dan menggodanya berlama-lama di sana setiap surya terbit maupun terbenam.

"Guk!"

Kepala Indigo ganti menoleh ke bawah. Iloa, anjing peliharaannya yang sedari tadi duduk menemani, bahkan turut memperingatkan. Tidak hanya sekali, anjing kampung berbulu kelabu tersebut kembali menyalak halus. Indigo pun menurut; dengan berat hati, dia seret langkahnya sepanjang hamparan pasir menuju sebuah pondok mungil di samping hutan bakau.

Di dalam pondok, Pak Petuah sudah menunggu di belakang meja makan. Sup hangat tersedia di atas meja dan—begitu Indigo masuk—pria tua itu langsung menuangkannya dari panci. Menduduki kursi lapuk di samping Pak Petuah, Indigo langsung mendapati mangkuk berisi sup, dengan sendok setengah tercelup, sudah tersaji di hadapannya. Walaupun isinya ikan lagi, Indigo tak pernah bosan. Perempuan itu tercengir senang sementara Pak Petuah menuangkan sup untuk dirinya sendiri. Di bawah kursi Indigo, Iloa telah duluan menyantap potongan ikan di dalam mangkuk khusus.

Kedua manusia itu lantas memulai makan malam mereka. Lapar yang menuntut seketika lenyap oleh suapan nutrisi ke dalam perut. Dingin yang terperangkap di dalam tubuh lekas terusir oleh seruput-seruput hangat, terlebih dengan adanya penghangat berbahan bakar minyak tanah di sudut pondok. Kendati lebih senang berada di alam terbuka di mana dia bisa merengkuh kebebasan absolut, Indigo tidak bermasalah dengan pondok yang dia huni bersama Pak Petuah sejak setahun belakangan. Tidak jauh dari laut, pondok tersebut memang mewujud persinggahan ramah nan nyaman. Letaknya terasing tanpa dampingan rumah-rumah lain. Pula terkucilkan dari kasak-kusuk tetangga. Alih-alih merasa terisolasi, Indigo justru menikmatinya.

Semenjak dijemput dari hutan belantara di luar desa, pondok tersebut menjelma lokasi persinggahan pertama Indigo sampai seterusnya. 'Rumahku yang lain,' ungkap Pak Petuah kala itu selagi membukakan pintu bagi Indigo dan memperlihatkan sosok anjing dewasa bernama Iloa yang sudah menunggu di dalam. Berbeda dengan di kampung Indigo sebelumnya, pondok mungil Pak Petuah yang ini memuat lebih banyak buku. Lebih beragam. Lebih menjejali Indigo dengan pengetahuan yang tidak pernah dia ketahui sebelumnya. Di sini, bila tidak sedang berkenan menemani Pak Petuah memulung, Indigo manfaatkan hampir seluruh waktunya untuk meraup koleksi buku pria tua itu.

Tak terhindarkan, Indigo bandingkan semua wawasan dari buku-buku tersebut dengan kondisi kampung halamannya sendiri. Berdasarkan buku-buku Geografi, Indigo pahami bahwa dunia jauh lebih luas daripada desa dan hutan belantara di sekitarnya. Melalui buku-buku Sejarah, Indigo dapati bahwa dunia berusia lebih tua dari Pak Petuah dan lansia-lansia lain di desanya. Berdasarkan buku-buku Antropologi dan Sosiologi, perempuan itu ketahui ternyata terdapat beragam profesi yang dijalani orang-orang di luar sana. Tidak hanya petani, peternak, dan dukun—sebab hanya tiga profesi itu yang ada di kampung halamannya—tetapi juga sebutan-sebutan lain seperti guru, dokter, pengacara, astronot, suster, teknisi, supir, dan lain sebagainya. Bahkan, baru Indigo ketahui juga terdapat sebutan untuk pekerjaan Pak Petuah kini: pemulung. Ketika dia bertanya mengapa Pak Petuah menekuni profesi tersebut, padahal kehidupan sehari-hari mereka berdua sudah tercukupi meskipun sangat sederhana dan memanfaatkan pemberian laut, Pak Petuah hanya menjawab, "Ada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk kebermanfaatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, meskipun yang mampu kita kuasai hanya sesedikitnya saja."

Rona (Novel - Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang