Rona I: Nila

4.1K 517 150
                                    

Nila berlari. Setiap langkahnya bermakna. Setiap napasnya ialah pertaruhan. Cukup jauh di belakangnya, gegap langkah menderu garang. Di belakangnya, lusinan pria mengejarnya seperti kawanan hiena memburu babi hutan. Tidak peduli bahwa enam dari lusinan pria tersebut adalah kakak-kakaknya sendiri, bahkan ayahnya sekalipun, amarah mereka seumpama taring yang gigih mencuat demi mencabik setiap inci tubuh Nila. Obor, celurit, pisau dapur, cemeti, dan tali tambang mereka genggam selaku senjata untuk menaklukkan si perempuan liar.

Nila terengah. Kakinya mulai goyah. Sepanjang lima belas tahun hidupnya, tidak pernah dia berlari sekencang ini dan tidak pernah pula dia menyangka sanggup mencapai kecepatan tersebut. Sesekali dia terbatuk gara-gara asap yang ditimbulkan oleh dedaunan di pohon yang terbakar selaku sasaran amuk para pria pengejarnya. Berkali-kali dia terantuk sulur-sulur akar yang merambat serta melintang sepanjang hutan. Temaram petang menghambat penglihatannya, tetapi—setelah berlari beratus-ratus meter—mata Nila mulai terbiasa dengan keremangan di sekitarnya.

Sedikit lagi! Seratus meter lagi sebelum Nila terbebas. Satu belokan di pohon beringin tertua sebelum dia dapat memanjat pasak kayu tinggi yang memagari desa terkutuk ini. Pesan Pak Petuah, Nila tidak boleh berhenti. Tanpa perlu diberitahu pun, Nila tahu bahwa dia harus terus berlari bila tak mau jiwa pula raganya direnggut oleh kegilaan berbalut tradisi dan adat istiadat.

Apa daya, sesampainya di belokan, Nila terpaksa bersembunyi ke balik pohon beringin. Waktunya tidak banyak, tetapi perempuan itu perlu mengatur napas dan mengumpulkan sisa stamina akibat kecapaian. Dengan lutut gemetaran, Nila bersandar pada batang pohon. Punggungnya berangsur merosot seiring dia mengembuskan napas panjang-panjang.

Dalam rehat singkatnya, Nila menahan air mata supaya tidak tumpah. Dia suruh badannya untuk tidak merinding oleh ketakutan maupun menggigil oleh kedinginan. Keputusannya sudah tepat, tidak bisa lebih benar lagi. Tidak terpikir baginya untuk kembali dan menyerahkan diri kepada para bedebah yang kian mendekat. Kabur adalah tindakan pengecut, tetapi menyerah sama saja dengan mati. Meskipun tidak secara harfiah, merelakan diri untuk dikawini pria terbebal di desa adalah setara mati, pikir Nila.

Hari ini—hari lahir Nila yang kelima belas tahun—merupakan Hari Terburuk. Sesuai tradisi di kampung halamannya, dia harus menikah begitu menginjak usia lima belas. Nila seharusnya menanti-nantikan momentum ini seperti halnya perawan-perawan gelisah lain di desanya. Hanya saja, intuisi Nila tidak bekerja sesuai sugesti-sugesti lumrah yang dianut serta ditanamkan para penduduk desa. Dia punya seribu satu alasan untuk tidak menikah dan tiga di antaranya berasal dari Mirya, tetangga sebelah rumah. Mirya—dinikahkan empat tahun lalu ketika berulang tahun yang kelima belas—melancarkan persuasi hiperbolis bahwa kehidupan pernikahan amatlah membahagiakan nan terberkahi. Hal yang mengherankan sekaligus kontradiktif bagi Nila, sebab muka Mirya senantiasa dipenuhi lebam keunguan. Itu adalah alasan keseribu satu: Nila tidak mau mukanya jadi lebih jelek daripada sekarang. Alasan keseribu, Nila tidak mau perutnya dibuat buncit berisi bayi setiap tahun seperti Mirya. Alasan kesembilan ratus sembilan puluh sembilan, Nila juga tidak mau diam di rumah untuk mengasuh anak-anak pembangkang dan membereskan barang-barang yang diberantaki suami serampangan.

Dalam rentang kegamangannya, Nila bisa sesedikitnya rela bila dinikahi dengan salah satu pria tertampan di desa. Sebut saja Danar atau Kavin, biapun mereka tidak kurang bajingan daripada pria-pria lain. Hanya saja, bukan begitu aturan turun temurun yang berlaku dalam adat istiadat di desanya. Hanya perempuan cantik yang dinikahkan dengan pria tampan dan Nila—tidak termasuk golongan rupawan—harus pasrah terhadap pria manapun yang dipilih oleh sang ayah. Alasan kesembilan ratus sembilan puluh delapan bagi Nila untuk tidak menikah adalah Banu: laki-laki tambun pemabuk, berbau busuk, ringan tangan, bermental seperti bocah umur delapan, dan masih bersepupu dekat dengan Nila. Entah perjanjian mutualistik apa yang dicanangkan oleh ayah Nila dan ayah Banu, dibuatlah kesepakatan untuk menikahkan kedua anak mereka pada ulang tahun Nila yang kelima belas.

Rona (Novel - Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang