Jantung Daniel serasa berhenti berdetak saat Seongwoo menanyakan hal itu.

Tidak memberi kesempatan Daniel untuk menenangkan diri dan menjawab pertanyaannya, Seongwoo sudah menambahkan pertanyaan lagi. "Apa karena aku datang? Kau tidak suka bertemu orang asing?"

Daniel kelabakan. "Ah.. bukan..bukan begitu.."

"Lalu?"

Satu kata lalu? itu mampu membuatnya membeku. Bibirnya terkatup rapat, tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Waktu pertama kali bertemu denganmu aku bertanya-tanya kenapa kau melihatku dengan tatapan yang berbeda." Seongwoo sudah memulai manuvernya lagi. "Sebetulnya aku ingin menanyakannya padamu saat kau datang mengantarkan makanan lagi, tapi ternyata sejak saat itu bukan kau yang datang."

Daniel melihat sedikit kekecewaan di wajah Seongwoo dan itu menyakiti hatinya.

"Kalau begitu, aku akan tanyakan itu sekarang." Sambung Seongwoo dengan semangat. Dia menatap Daniel dan bertanya, "Kenapa kau seperti kaget saat melihatku? Apa kau... mengenalku?"

Daniel terdiam. Tiba-tiba seperti ada beban berat di pundaknya, membuatnya ingin melebur saja dengan bumi.

Dia berusaha mengendalikan emosinya. Satu detik, dua detik berlalu lambat. Ini adalah momen krusial. Dia harus memutuskan apakah harus menghapuskan jarak ataukah justru membangun dinding pemisah di antara mereka. Keputusannya itu akan menentukan bagaimana kisah kakak beradik itu akan berakhir. Tiga detik, empat detik, lima detik, akhinya Daniel memutuskan untuk bicara.

"Tidak. Aku tidak mengenalmu.. Waktu itu aku hanya kaget saja bukan Minhyun hyung yang membukakan pintu." Jawab Daniel dengan menunduk menghindari tatapan Seongwoo.

"Ah.. ternyata seperti itu.. kukira ada alasan lain.." Daniel mendengar jelas ada nada kecewa di suara Seongwoo.

Terlebih saat Seongwoo menambahkan, "Padahal aku sempat berpikir kalau kau adalah orang yang kukenal."

Daniel merasa sakit mendengar itu. Dalam hati, dia menghujani dirinya sendiri dengan makian kasar bagaimana bisa dia membohongi kakaknya.

Seongwoo berusaha mencairkan suasana dengan sedikit tertawa. "Ah kurasa tidak mungkin juga kalau kau itu dia. Setelah kuperhatikan, kalian sungguh berbeda." Kalimat Seongwoo itu membuat Daniel mendongakkan wajahnya.

Seongwoo menyambutnya dengan senyuman. "Orang yang kukenal itu pasti akan langsung menyambutku dengan senyumannya yang mirip puppy dan memelukku dengan hangat begitu dia melihatku." Seongwoo tertawa kecil sambil menunduk, sepertinya menyesali apa yang telah dipikirkannya. "Maaf kalau sudah berpikir macam-macam.. Aku pamit dulu.." Seongwoo menepuk bahu Daniel pelan sebelum dia pergi sambil berkata, "Jangan minum terlalu banyak."

Daniel merasa ada sesuatu yang terbakar di dalam hatinya. Amarah pada dirinya sendiri meluap hingga dia tak mampu lagi membendung air matanya yang kini menetes bebas di pipinya. Dia hanya bisa melihat punggung Seongwoo yang makin menjauh sambil memaki dirinya sendiri.

Apa yang sudah ku lalukan?

[Scene Daniel melihat Seongwoo menjauh]

#BGM: Huh Gak - Only you

.

.

A/N: Mau cerita kalo bikin draft chapter ini kepanjangan, jadi akhirnya displit jd 2 chapter. Si Daniel masih ngeselin ya? tenang.. nanti dia sadar kok.. tunggu ya.. g lama lg kok. Once again, thank you. Ditunggu komennya ^^
Aku kasih ekstra deh..
.

.

Ekstra:

Seongwoo berada di kursi penumpang di dalam mobil yang disetir Minhyun. Dia memandang keluar ke arah gedung-gedung menjulang dan mobil-mobil yang dilewatinya, tapi sesungguhnya pikirannya masih tertinggal di rumah atap, tempat yang barusan mereka kunjungi.

Seongwoo masih ingat bagaimana kagetnya wajah lelaki bernama Daniel itu saat melihatnya di rumah atap, sama persis dengan ekspresi kagetnya saat pertama kali bertemu dengannya. Belum lagi dengan sikapnya yang seperti salah tingkah. Kenapa dia harus seperti itu?

Lalu fakta bahwa dia menyukai pizza dan pemakan banyak, mirip sekali dengan Euigeon. Tapi kenapa dia harus menutupinya saat di depanku?

Lalu respon Kim Jaehwan saat mengetahui bahwa namanya adalah Seongwoo dan juga pertanyaannya. Apa sebenarnya yang ingin dia tanyakan? Kenapa Daniel seperti ingin menghentikannya dan tiba-tiba mengajaknya bicara terpisah? Ini benar-benar membingungkan.

Seongwoo memutar otaknya, mencoba mencari benang merah dari semua itu. Dia sempat mengira kalau Daniel itu mungkin saja Euigeon, hingga dia mencoba memastikannya dengan mengajak Daniel bicara berdua. Tapi nyatanya Daniel menyangkal kalau dia mengenalnya. Jika dia memang Euigeon, kenapa dia harus berpura-pura tidak mengenalku?

Seongwoo menutup matanya sesaat, mencari setitik ketenangan yang sangat dibutuhkannya saat ini.

Saat membuka mata, dia cukup terkejut karena dia ternyata sudah melaju lebih jauh dari perkiraannya. "Oh? Manajer Hwang, turunkan aku di halte itu saja."

"Uhm? Kuantar saja sampai ke apartemen." Respon Minhyun tenang.

"Tidak perlu. Aku belum mau pulang.. Mau ke Nirvana dulu." Balas Seongwoo menyebutkan nama tempat disimpannya abu-abu orang meninggal itu.

Minhyun sedikit bingung dengan kalimat Seongwoo barusan. "Ke Nirvana? Untuk apa?" Tanyanya sembari meminggirkan mobilnya.

"Menengok abu ayahku.." jawab Seongwoo pelan, namun cukup mampu membuat Minhyun lebih terkaget lagi.

"Abu ayahmu di Nirvana??"

Seongwoo heran kenapa Minhyun harus sekaget itu. "I-iya.." Dia menjawab pelan.

Wajah Minhyun seketika berubah menjadi sedikit kesal. "Kenapa kau tak bilang? Kupikir abu ayahmu dikubur di pekuburan umum."

"Memangnya kenapa, Manajer Hwang?" Tanya Seongwoo sedikit takut karena Manajer kesayangannya itu jarang sekali menampakkan wajah kesal.

"Apa kau tak tau sistem mereka? Setiap kompartemen itu ada pemiliknya, entah itu sewa atau beli. Pemilik itu adalah orang yang bertanggungjawab atas kompartemen itu, biasanya keluarga dekat."

Seongwoo masih kurang mengerti maksud penjelasan panjang Minhyun.

Minhyun menghela napas sebelum menjelaskan lebih lanjut. "Sean, mungkin saja kompartemen ayahmu itu pemiliknya adalah Ibu Euigeon."

"Hah?? Mungkinkah?" Penjelasan Minhyun yang terakhir itu membuat Seongwoo hampir melompat dari kursinya.

"Iya, mungkin saja. Kenapa kau tak memberitahuku sebelumnya? Kalau kau memberitahuku, kita tak perlu repot-repot mencarinya ke seantero Itaewon." Ujar Minhyun sedikit kesal.

Mengabaikan keluhan Minhyun, Seongwoo justru berkata menggebu-gebu, "Kalau begitu, ayo kita ke sana sekarang, Manajer Hwang!"

Minhyun menghela napas panjang. "Ini sudah lewat jam 9, Sean. Kantornya pasti sudah tutup, besok pagi saja coba kau datang ke sana."

Seongwoo tertegun sebentar sebelum kemudian menganggukkan kepalanya.

Aku akan memastikannya lewat jalan lain. Semoga jalan ini bisa memberikanku jawaban.

Heart StringsWhere stories live. Discover now