Two

79 6 0
                                    

Melbourne, Australia

Mobil derek, pembersih salju meramaikan jalanan kota. Upaya mereka di udara dingin seperti ini membuatku kagum. Betapa besar jasa mereka. Ku langkah kan kaki ku dengan ringan. Aku merasa segar pagi ini entah kenapa. Sejak kemarin minum teh di kedai bapak itu, tunggu aku ingat nama kedai itu. Tealla. tubuhku ringan dan kepala ku tidak sepenat kemarin. Efek ketulusan bapak itu menyediakan ku teh mungkin.

Cukup lama menunggu subway di halte ini, dekat flat ku tinggal untung saja ada halte subway. Jadi aku tidak perlu jalan jauh untuk menunggu subway.

Setelah ditunggu tunggu subway jurusan kampus ku tiba, aku segera menaiki nya, me tap kartu yang ada di leher ku kearah mesin tap yang ada di samping supir. Kemudian aku memilih duduk di kursi panjang paling belakang. Tempat duduk favorite ku jika menaiki subway. Entah mengapa aku merasa tenang. Duduk paling belakang dan menghadap jendela. Dengan duduk di paling belakang minim orang yang dapat melihat ku dari arah belakang.

aku mengecek email, kemarin aku iseng-iseng melamar pekerjaan di perusahaan di bidang properti. Aku kuliah jurusan desain. Setelah UAS selesai, aku sudah bisa menyusun skripsi. Itung-itung cadangan bila sudah lulus nanti. Magang tiga bulan, setelah itu pegawai kontrak. Jika kinerja ku bagus, bisa menjadi pegawai tetap. Semua memang butuh proses. Sama hal nya dengan hati, butuh proses untuk melupakan. Melupakan seberkas kejadian. Kejadian akan hal yang pertama kali dirasakan. Hanya waktu dan diri ku lah yang bisa menjadikan kejadian itu menjadi sebuah kenangan.

“saya disini bayar, kenapa harus saya? Kenapa tidak yang lain”

Aku berhenti menscroll layar ponsel ku, ada keributan di depan ku. Seorang lelaki paruh baya yang beradu mulut dengan pemuda yg duduk didepan nya. Disamping lelaki paruh baya itu ada seorang nenek berdiri.

Aku segera bangkit dari bangku subway, kemudian mengahampiri mereka yang berada di depanku, jaraknya hanya dua kursi dari tempat duduk ku. Aku memegang lengan lelaki paruh baya tersebut, ia menoleh ke belakang “ohh, bapak kedai tealla?”

Wajahnya sumringah “liu?” aku mengangguk. Tanpa pikir panjang aku segera meraih tangan nenek yg sedari tadi hanya diam sambil berpegangan dengan tongkat nya. “mari nek, duduk di tempatku saja. pemuda itu lebih tua dari nenek, dia bisa jatuh jika tidak duduk” ucapku sambil mendelik kearah pemuda yg beradu mulut dengan bapak kedai. Setelah mendengar ucapanku, pemuda itu membuang tatapan nya. Aku hanya bisa menggeleng kan kepala. Masih ada orang seperti itu di negara maju seperti ini. Lebih baik tokyo memang.

Setelah mengantar nenek itu ke tempat duduk ku, aku kembali menghampiri bapak kedai
“bapak kuat kan berdiri seperti ini?” tanya ku pada nya
Bapak itu tersenyum manis, “apakah aku terlihat tua?” aku menggeleng “tidak, aku bahkan sampai tidak tahu umur mu pak” cengir ku

“kebetulan bertemu disini, mampir ke kedai bapak nak. Kamu belum sarapan bukan? Kebetulan istriku masak bubur tahu ikan”

Aku tersenyum “aku sudah sarapan pak, aku ada kuliah hari ini. Maaf tidak bisa mampir kesana” gumamku

“siang nanti, setelah selesai kuliah, aku akan kesana” lanjutku

Bapak itu tersenyum senang “baiklah, aku tunggu. Tidak usah makan siang di kampus. Nanti akan ku minta istriku untuk masak yg enak”

Aku mengangguk patuh. Bus yang ku naiki berhenti di halte selanjutnya, bapak kedai itu memegang lengan ku, “sudah sampai, bapak turun duluan nak, hati-hati dijalan. Jangan lupa siang jika bisa, makan di kedai” kemudian ia segera turun tanpa menunggu jawaban ku.

Kulihat dari jendela, bapak itu melambaikan tangan nya. Akupun ikut melambai. Menghormati.

   ~~oOo~~

Remember ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang