One

251 5 0
                                    

" people do changed and i'm afraid that"

Australia, 2013

Aku merapatkan jaket, sekali lagi. Dingin menyergap. Berkat salju semalaman jalanan kota terasa seperti wahana ice skating tanpa pengunjung. Lidah ku sungguh kelu. Cukup untuk hari ini, aku butuh kopi.Di seberang jalan yang ku lewati, ada sebuah kedai yang sepertinya menjual beberapa minuman hangat. Tidak kopi pun tak masalah. Aku hanya butuh istirahat. Ah tidak, Sebenarnya kaki ku yang butuh istirahat.

Bunyi berderit dari pintu kedai, aku masuk. Memesan teh chamomile.Karena kata pelayan hanya ada teh disini. Ternyata ini bukan kedai kopi, dugaan ku benar. Aku memilih duduk di kursi coklat sebrang pintu. Terlihat pelayan yang sedang mencatat beberapa pesanan dari kakek tua dikursi ujung. Di dapur seorang lelaki paruh baya yang sedang menuang sesuatu dari ceret beruap ke cangkir poreslen hijau. Aku merasa udara disini cukup hangat daripada diluar sana.Dan nyaman. Pesanan ku tiba "teh chamomile dengan gula batu, dan satu panekuk kacang. Selamat menikmati" ujar seorang pelayan pria dengan rambut menutupi mata. Aku hanya mengangguk tanpa berhenti menatap, aku berusaha menatap matanya, tapi sayang rambutnya cukup menghalangi ku. Setelah menaruh pesanan ku di meja dia kembali ke dapur dan berbicara sambil tersenyum dengan lelaki paruh baya yang kulihat tadi.

Aku membuka tas kuning ku dan mengambil selembaran yang kudapat dari kampus. Tulisan ini membuat rasa lelah ku kembali. Setelah sepagi tadi mati matian mencari uang untuk membayar tunggakan flat, sekarang mau tidak mau harus mencari uang lagi, untuk membayar kuliah. Sebentar lagi aku ujian dan memang belum membayar uang semester. Peraturan kampus di luar negri memang seperti itu. Harus bayar baru bisa mengikuti ujian. Jika belum bayar, ya tidak bisa ujian. Tidak memandang siapa pun dan bagaimana pun kehidupan mahasiwa nya.Kejam. Sedih rasanya hidup seorang diri di negri orang. Tidak ada keluarga, tidak ada teman. Paling teman pun hanya teman kuliah yang bisa nya merepotkan ku saja. meminta kerjakan tugas, menulis essay. Tetapi bagaimanapun dari situlah aku bisa mendapatkan uang. Hanya untuk makan, tidak lebih.

Kututup kembali selembaran itu dan memasukkan nya kembali kedalam tas. Kuteguk teh yang tadi ku pesan dan mencomot satu panekuk kacang dari piring porselin. Kakek tua di kursi ujung sudah pergi sedari tadi. Sisa aku sendiri di kedai ini. Kurasa aku cukup lama melamun. Tunggu, ini kan sedang salju. Semua orang butuh minuman hangat tetapi, mengapa kedai ini sepi pengunjung? Aku baru sadar sedari tadi hanya aku berdua dengan kakek tua itu di kedai ini.

Lelaki paruh baya yang didapur memerhatikan ku dengan kening berkerut. Aku tanpa sengaja melihatnya. Kemudian lelaki paruh baya itu menghampiriku sambil membawa ceret mengepul.

"ingin teh lagi?" tanya nya setelah didepanku

Aku mengerjapkan mata, kaget. Karna merasa tidak memesan teh lagi. Mungkin aku memang terlihat menyedihkan, sampai sampai bapak ini menawarkan teh nya lagi padaku. "anda menawarkan saya?" tanyaku linglung

"Ya, memangnya ada pengunjung lain selain kau disini?"

Bodoh, mengapa kata kata itu keluar dari mulutku? Sungguh bodoh. Aku merasa tidak sopan berbicara seperti itu kepada seorang yang baik hati menawarkan ku teh ini "Ah, maaf. Karena aku merasa tidak memesan teh lagi jadi aku hanya bingung. Maaf sudah tidak sopan"

Lelaki paruh baya itu kemudian duduk dan menuangkan isi dari ceret itu ke cangkirku, tanpa menatap ku "udara dingin, satu cangkir tak cukup untuk membuat dirimu merasa hangat. Lagipula kau terlihat bukan orang sini, maka dari itu aku menawarkan mu" ucapnya "minumlah, selagi hangat" dia menggeser cangkir berisi teh ke arah ku.

Aku memegang cangkir itu. Memang hangat. "terimakasih" aku tak tau harus berkata apa, jadi aku mengucapkan terimakasih. Dia tersenyum. Akupun ikut tersenyum. Kurasa memang harus seperti itu.

Remember ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang