Pilihan Menyakitkan

5.9K 279 8
                                    

Kepalaku bertambah pusing ketika sesampainya di kamar, mendapati Iim yang merengek menanyakan soto ayam yang seharusnya kubeli. Aku pun bergegas kedepan komplek untuk membeli soto ayam yang tadi kulupakan gara-gara disuruh sarapan bareng ning Iffa, yang berakhir dengan pertengkaran enggak penting tadi. Dan sialnya aku pun kini telah kehabisan soto ayamnya mang Bagja yang laris itu. Lalu sebagai gantinya aku pun membeli nasi bungkus dengan lauk ikan nila, yang dijual oleh ibu-ibu yang kebetulan lewat di depan komplek. Tapi kesialanku terus berlanjut ketika sesampainya di kamar, aku malah mendapati makanan yang ku beli ternyata sudah agak basi.

"Ih mbak Mira gimana sih, masak enggak kecium kalau ikannya udah basi!" Iim menggurutu kesal.

"Ya ampun Im, ya mana ku tahu! Aku kan enggak paham bau-bauan makanan!" ucapku geram.

"Makanya belajar dong mbak, mau jadi istri kok enggak bisa bedain makanan basi!" Iim masih ngoceh menyudutkanku.

"Iya iya, yang pantes jadi istrinya gus Zul emang cuma mbak Mia doang kok! Mbak Mia kan sangat sempurna, bisa masak, pinter ngaji lagi!" ucapku kesal.

"Loh kenapa mbak Mira malah bawa-bawa nama mbak Mia sih?" tanya Iim bingung, mbak Lily juga ikut mengangguk membenarkan perkataan Iim. Terang saja mereka bingung kenapa aku tiba-tiba membahas nama mbak Mia, padahal mbak Mia sendiri sekarang masih berada di ndalemnya ning Fatimah untuk semaan hapalan.

"Astagfirulloh," aku beristigfar pelan, "Hehe enggak apa-apa kok, aku tadi agak pusing aja. lagian Im, please dong jangan ngerengek-rengek terus, aku baru pulang dari rumah sakit loh! Belum sembuh total!" aku mengingatkan Iim agar tak terus membuatku pusing.

"Oh iya, mbak Mir maafin Iim ya?" Iim memegang lenganku pelan, "Lagian enggak berakhlak banget tuh penjual, makanan basi kok masih aja dijual, enggak takut dosa apa?!" Iim melirik nasi bungkus itu dengan pandangan sebal.

"Udahlah Im, mungkin ibu itu lagi butuh uang banget, jadi dia menghalalkan segala cara." Ucapku menenangkan Iim.

"Iya Im mungkin ibu itu lagi kepepet!" mbak Lily ikut menimpali, "Nanti aku bikinin nasi goreng aja ya!" tawar mbak Lily pada Iim, kulihat Iim pun mengangguk senang.

"Oh ya, aku masih ada stok kornet dan sosis, kalau kalian mau ambil aja di lemari!" aku menawari makanan lain sebagai pengganti soto ayam yang ku janjikan tadi.

"Siiiip, mbak Mira baik deh!" Iim menoel-noel daguku yang langsung kutepis dengan gerakan sedikit kasar.

Mbak Lily dan Iim pun turun ke bawah untuk memasak nasi goreng di dapur. Ditinggal sendirian di kamar, aku jadi mengingat kejadian tadi pagi di dapur, ketika gus Zul mencuci piring dan kami malah bertengkar, dan kalau diingat-ingat sih itu adalah petengkaran pertama kami. Ternyata sangat sakit rasanya ketika kita bertengkar dengan orang yang kita cintai, aku harus segera menguatkan hatiku untuk pertengkaran-pertengakaran yang mungkin saja terjadi berikutnya.

Sungguh aku merasa sangat sedih ketika mendapati kesimpulan jika gus Zul masih belum berhasil mencintaiku, gus Zul malah masih menganggapku hanya sebatas adiknya sendiri. sikapnya yang ia tunjukkan tadi malam pun itu dikarenakan dia menganggapku sudah sedekat itu, sudah seperti adiknya sendiri. Itu sebabnya dia merasa tak canggung ketika membahas masalah panggilan suami istri bersamaku di depan adik dan uminya, coba saja kalau yang diposisiku adalah mbak Mia, aku jamin gus Zul pasti akan sangat kesulitan dalam berbicara, palingan juga dia hanya bisa diam gerogi dan salah tingkah.

Ya sudahlah, memang seharusnya yang kulakukan adalah diam dan sabar menunggu, menunggu gus Zul menerimaku atau melepaskanku. Dari pada terus meratapi nasib malang ini, yang tak baik juga untuk kondisi hatiku, lebih baik aku ambil wudhu saja, melaksanakan sholat duha agar Allah memberikan rezeki yang melimpah untukku. Jodoh yang sholeh juga itu termasuk rezeki kan? Rezeki yang sangat agung malah. Setidaknya jika aku nanti tak mendapatkan cintanya gus Zul, semoga Allah mau menggantinya dengan rezeki yang lebih baik lagi. Aamiiin.

Cinta yang Tak TerbacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang