19. Truth

1.8K 100 8
                                    

"Silahkan kau membenciku. Aku bersumpah tidak mendekatinya lagi. Sampaikan padanya, aku mau bertemu dengannya terakhir kalinya. Tolong sampaikan itu. Ada hal penting." ucap William dengan nada sendu dan tarikkan pada kerah William mulai melonggar disebabkan Ricky yang mulai bingung terhadap apa yang terjadi terhadap mantan sahabatnya. Tidak pernah raut wajah William menjadi menyedihkan seperti ini. Ini bukan William yang ia kenal. Rasa penasarannya hilang seketika dan tergantikan oleh rasa kasihan pada Grace , "baik." balas Ricky.

Tidak perlu menunggu waktu semenit, punggung William sudah tak terlihat oleh Ricky. Entah mengapa mendadak rasa kasihan pada Grace itu terganti lagi menjadi rasa kasihan pada William. Ada sesuatu yang disembunyikannya, He's not him.

Sejujurnya Ricky masih bingung terhadap jalan pemikiran mantan sahabatnya itu. Jika memang dia mencintai Grace, mengapa selalu menyakitinya? Dan kenapa saat ayahnya bangkrut, malah dia yang membalaskan dendamnya. Bukannya ayahnya sendiri. Dan, kenapa... tidak satu pun anggota keluarga Grace yang menghawatirkannya? Ayahnya memang telah meninggal, tetapi tidak termasuk ibu dan kakaknya. Setaunya, ibu dan kakak nya masih hidup. Itu semua harus di gali sendiri oleh Ricky.

Dia tidak bisa dengan langsung memaafkan William karena dia telah bertindak sangat jauh sampai membuat seorang wanita sekarat. Tidak. Tapi, dia juga tidak bisa mengambil keputusannya secara langsung untuk memutuskan persahabatan mereka yang sudah berjalan 7 tahun itu. Dalam waktu yang lama itu mana mungkin Ricky tidak bisa mengerti sifat William. Tapi rasanya kali ini memang dia tidak bisa mengerti keadaan William. Sama sekali tidak. Mereka sekarang hanya seperti 2 orang yang baru saja berkenalan dan bermusuhan karena seorang perempuan.

Sentuhan seseorang di punggung Ricky membangunkannya dari pemikiran itu. "Apakah anda keluarga dari pasien?" tanya dokter yang kurang lebih seumuran dengan Edwin. Ricky juga mengenal dokter pribadi William tersebut. "Ehm- i-ya" ucapnya bingung pada jawabanya sendiri. "Hm" sebelum berbuicara lengkap, dokter tersebut sedikit berdehem sehingga membuat jantung Ricky terpompa. Dokter itu tarik nafasnya secara pelan, "pada bagian nasofaring pasien terdapat tumor ganas." Perkataan dokter itu bagai petir yang menyambar di hati Ricky. Seorang wanita yang menderita harus terkena penyakit mematikan lagi seperti ini? " karena pasien sudah sangat lama mengalami pendarahan pada hidungnya dan tidak pernah diobati." jelas dokter dengan sedikit memelankan suaranya merasa iba karena menangkap perubahan raut wajah Ricky yang semakin lemas,"Dan jika tumornya tidak segera diangkat, itu akan menghambat pernafasan pasien dan akan membuatnya kehilangan nyawa."

- - -

William berjalan gontai masuk kedalam mobil termahal-nya yang sudah rusak parah. Dia terududuk didalamnya tidak berniat untuk menghidupkan mesinnya. Di otaknya berputar sangat banyak pertanyaan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi salah satu bawahannya, Samuel. "Bagaimana keadaan Arthur?" tanya dengan lesu seakan nyawanya hanya tinggal 20%. "Sudah lama tuan tidak menanyakan hal tersebut. Hampir 7 bulan." jawab Samuel sedikit tersenyum di seberang telepon, " dia baik-baik saja,tuan. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."

Rasa lega tak kunjung datang pada William, "bagaimana tentang Herlia?" Terdengar suara desahan halus dari ponselnya, " kami sudah mengecek semuanya, tuan. Tidak ada unsur kesengajaan maupun melakukan perencanaan pembunuhan. Ini semua murni ketidaksengajaan yang Herlia lakukan sendiri. Kami sudah memakamkan jasadnya tepat di samping jasad Chardeson."

Entah kenapa jantung William kembali seperti tertusuk banyak belati tajam. Sampai ia refleks memegang jantungnya. Ia tidak sanggup untuk mengatakan semua kebenaran ini pada Grace. Grace sudah cukup menderita hidup bersamanya dan ia tak mau lagi melihat wanitanya itu menangis. Ia rela melakukan apapun demi melihatnya bahagia. Bodoh? Iya dia memang bodoh. Dulunya ia bertekad akan mendapatkan Grace bagaimanapun caranya. Tetapi apa yang ia lakukan bertolak belakang dengan apa yang di ucapkannya.

Tidak pernah seorang William menarik kata-katanya, dan tidak pernah juga ia tidak melakukan apa yang telah ia katakan. Bahkan jika ia mengatakan akan membunuh seseorang, maka tidak sampai sehari, jasad orang tersebut sudah tergeletak tak bernyawa. Tetapi sikap yang ia miliki itu akan mendadak hilang jika berhadapan dengan seorang wanita itu. Grace.

Samuel yang bingung tidak mendengar apapun dari atasannya tersebut pun sedikit berdehem. "Dan, tuan, Pak Caltron memerintahkan anda agar datang ke rumah besok." Bertemu? Apakah William tidak salah dengar? Sangat jarang Caltron memanggilnya pulang ke rumah. Hanya pernah sekali saja ia disuruh pulang ke rumah dan selama dua tahun ini ia tidak pernah menuruhnya pulang kembali. Saat pertama kali ia disuruh kesana, mereka hanya membahas tentang perusahaan yang sudah seharusnya di tangani oleh Putranya.
Dan sekarang apakah ada yang penting? Woah. William sedikit terkejut mendengar ucapan Samuel dari sebrang telepon itu. Ia penasaran tetapi ia terlalu malas untuk berkata banyak, "baik."

Saat melangkah masuk ke dalam mansion, banyak pembantu yang melihat majikannya keheranan. Berantakan. Dia sangat amat berantakan. "Kamu, buang mobil rusak itu." ucap William enteng sambil menunjuk salah satu sopirnya tanpa melihat ekspresinya yang hampir pingsan di tempat. Yang benar saja? Mobil harga 130M yang baru tuannya beli semalam dengan memohon dariseorang perancang profesional untuk membuatnya mobil tersebut di Jerman dibuang-nya dengan begitu gampang? Oh, tuhan bangkrutkanlah tuanku ini. Batin sopirnya memohon pada tuhan.

William masuk ke dalam kamar. Melangkah, menutup pintu, dan berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong. Ingin sekali ia menghancurkan barangnya. Ingin. Sangat ingin. Tetapi ia terlalu lelah untuk menggapai semua benda yang di dekatnya. Dia sudah terlalu lelah menjalani ini semua. Bahkan perkerjaan yang ia lakukan selama 1minggu nonstop tidak selelah ini.

Sudah 2 jam lebih tidak juga ia mendudukan bokongnya. Tetap berdiri di posisi yang sama sampai ia melihat ponselnya berdering menunjukkan nama Edwin. Dia meraih ponselnya dengan lambat lalu menggeser tombol hijau. "Di dalam hidung Grace terdapat tumor ganas yang harus segera di angkat. Jika tidak-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, William berkata, "angkat sekarang." Ucapnya tegas lalu mematikkan ponselnya secara sepihak dan langsung ambruk tubuh kekar miliknya di lantai marmer dingin itu. Ia sangat membenci dirinya sekarang. Sangat. Tanpa hitungan detik, semua benda sudah tergeletak di lantai dan hancur berkeping-keping. Ia berjalan melewati kepingan itu menuju kamar mandi sehingga menimbulkan suara "krkkk" berulang kali. Dia mencuci wajahnya dengan air dingin berusaha untuk meredamkan api amarahnya.  Enam belas kali ia membasuh wajahnya tetapi hawa panas itu tidak hilang juga. Habis sudah kesabarannya, cermin yang tertempel diatas wastafel pun hancur. Sudah dua kali ia melakukan ini. Hanya boleh dua kali seumur hidupnya dan ia  bersumpah tidak akan lagi melakukannya.



Happy reading
Vote and Comment nya dong 😣

————————————

Guys, mungkin ada yang sebagian tanya, "apaan ini? Mana mungkin ada ayahnya meninggal mama nya juga meninggal ditambah kakaknya yang kritis. Ga masuk akal banget sih."
Itu memang ada guys. Seperti pepatah "sudah jatuh ketimpa tangga"
Nah itu. Kehidupan real seseorang juga pasti ada yang seperti itu.
Jadi, jangan pada bingung ya 😂😂

Nah mau kasih tau lagi, mobil William itu memang 130M. Jangan ditanya kenapa. Kalian pikir sendiri aja😂😂😂

Lovee kalian😘
Kecupan dari author *muach*

Our PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang