PROLOG

375 33 10
                                        

Kegelapan di siang itu bukan kegelapan biasa. Matahari masih ada di atas sana, namun seolah tertelan oleh sesuatu. Kegelapan itu dibawa oleh sesuatu. Dibawa oleh mereka yang tinggal di dalamnya.

Disertai angin kencang, hujan, dan badai, Kaum Scorch, ras iblis yang telah lama menjadi musuh kerajaan datang dan memulai penyerangan besar-besaran pada desa itu. Mereka membunuh hampir semua manusia yang ada di sana tanpa ampun. Tak ada satu pun yang bisa melawan kekuatan dan kebengisan mereka. Suara dari pembantaian itu terdengar mengerikan. Tangis dan teriakan menyelimuti desa itu, sementara darah dan api menelannya perlahan.

Namun, Arma kecil yang tertidur pulas di lantai atas tak mengetahui semua kengerian itu. Ia melewatkan semua penyerangan itu. Hanya terbangun oleh suara gaduh dari dapurnya.

Brak..!!

Suara itu mengagetkannya. Terdengar seperti terjadi kekacauan di bawah sana. Perlahan, Ia beranjak dari ranjang.

Hanya keheningan dan kegelapan mencekam yang menyambut saat Ia membuka pintu kamarnya, dua hal yang paling dibencinya. Tubuhnya menggigil. Hari masih siang, namun rasanya sangat dingin.

Bahkan, anak berusia 7 tahun itu bisa merasakannya... Ada yang tidak beres di sini.

"Ibu?" Panggilnya, tanpa ada jawaban. "Ayah? Axel? Kiara? Kalian ada di mana?" Lanjutnya memanggil ayah dan kedua adiknya, namun tetap tidak ada jawaban.

Ia ketakutan. Perasaannya tidak enak. Namun sesuatu seolah memanggilnya ke sana, tempat Ia mendengar kegaduhan itu. Ia menenggak liurnya sebelum memaksakan diri berjalan menuruni tangga ke lantai dasar.

Setiap anak tangga yang Ia turuni membuat aroma tak enak yang diciumnya semakin jelas. Tangan kanannya sontak bergerak menutupi hidungnya. Bau kayu yang baru saja terbakar, bercampur dengan aroma pekat sesuatu yang Ia sendiri tak pernah menciumnya. Ia bahkan tak tahu dari mana bau itu berasal.

Membayangkan apa yang terjadi di dapur mengganggunya. Detak jantungnya bertambah kencang. Setiap langkah dan tarikan napas yang diambilnya membuat rasa takutnya bertambah. Perasaannya makin tak enak saat melihat seisi rumah berantakan. Semuanya berserakan. Samar-samar terlihat beberapa bekas cakar di lantai dan dinding. Ia mencoba menyalakan lampu, namun tidak berhasil.

Ia terus memaksakan diri, berjalan hingga langkahnya terhenti tepat di depan dapur. Perjalanan yang biasanya hanya menghabiskan beberapa menit terasa sangat lama dan melelahkan. Kakinya terasa berat. Tubuhnya gemetar. Ia terlalu takut untuk masuk, terlalu takut untuk melihat apa yang ada di dalam sana.

"Ibu..?" Panggilnya sekali lagi, untuk memastikan. Tapi nihilnya respon dari sang ibu membuatnya khawatir.

Ia meyakinkan hatinya bahwa tak ada sesuatu yang terjadi. Namun, Ia sendiri tahu bahwa Ia hanya membohongi diri. Bagaimanapun, perasaan Arma jarang sekali salah. Ia menenggak liurnya, memberanikan diri sembari mengintip perlahan.

Sejak awal, Ia terus menyangkal perasaannya. Berharap kali ini saja, Ia salah. Namun apa yang ada di hadapannya menunjukkan hal berbeda.

Dunia serasa berakhir. Jantung yang berdetak kencang sedari tadi seolah berhenti seketika. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, berharap semua itu hanya kebohongan belaka. Semua tenaga dalam tubuhnya hilang entah ke mana hingga lututnya menyentuh lantai kayu yang tergenang cairan merah kehitaman yang kental itu.

Cairan merah yang masih sangat segar. Baru saja mengalir dari perut ibunya. Di hadapannya, sesosok pria berdiri kaku sembari menggenggam sebuah pedang yang masih meneteskan darah.

Sekarang, Arma tahu asal aroma yang diciumnya dari tadi. Bau kayu terbakar itu muncul karena dapur mereka telah hangus, dan aroma pekat menjijikkan itu berasal darinya ibunya sendiri. Itu adalah pertama kalinya Arma melihat darah.

Killpath : Origin (REBOOT)Where stories live. Discover now