"Jadi masak apa? Pancake dan aduh, banyak sekali. Kita tidak mungkin menghabisinya berdua."Reefa mengernyit tapi wangi butter membuat ia menjilat bibirnya. Ia duduk di kursi dan membiarkan Dimitri melayaninya.

"Hari ini hari Sabtu, Reefa. Kamu tidak menjenguk Ibu 'kan kemarin. Aku membuatnya untuk Ibumu juga." Dimitri meletakkan satu piring pancake yang disiram madu berwarna keemasan.

Reefa mengerjap, Dimitri yang sekarang mengingatkan dia untuk sering-sering mengunjungi Ibunya.

"Dimka, terima kasih. Kamu sangat memperhatikan Ibu dan kamu tidak sungkan untuk menemaniku menjenguknya."

"My Scarlett Honey... Aku ingin menikahimu sesegera mungkin. Jadi, aku menerimamu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Aku menikahimu juga satu paket dengan keluargamu. Bagiku menikah dengan satu orang juga menikah dengan keluarganya." Dimitri mengoleskan sedikit madu pada ujung hidung gadis itu. Ia tersenyum lembut pada Reefa.

"Jadi terimalah aku juga dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Terima keadaan keluargaku. Terima aku sebagaimana adanya, Reefa." Lalu Dimitri menjilat madu itu lembut, membuat tengkuk Reefa bergelenyar.

"Dimka..."

"Aku ingin kita menikah dalam minggu ini, Reefa. Aku tidak bisa menahan diri lagi lebih lama."

Reefa terperangah, ia tidak menyangka Dimitri sangat serius dengan lamaran yang diajukan Reefa malam tadi. Ia menggeser pancake ke samping, seketika kehilangan selera makan.

"Kenapa?" Dimitri mengerutkan keningnya, melihat perubahan mood Reefa. Laki-laki itu membuka celemeknya dan menyampirkannya di kursi, kemudian ia duduk di kursi yang berada di depan Reefa. Matanya menatap Reefa tajam.

"Aku mencintaimu, Dimka. Sangat mencintaimu. Tapi aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Malam tadi aku mungkin melamarmu karena tingkahku yang impulsive. Aku takut kehilanganmu karena aku merasa kamu bosan padaku. Mungkin saat ini kamu mencintaiku tapi bisa saja kamu tidak suatu saat nanti."

Dimitri masih melemparkan tatapan bertanya, Reefa mengembuskan napasnya. Ia turun dari kursi, kembali menuju kamar dan tak lama kemudian kembali, memberikan kartu nama bersepuh emas yang ia temukan tadi malam dari saku jas Dimitri

Dimitri tertawa kecil melihat kartu itu, ia mengambil dan membolak-balik kartu itu lalu mengerti apa yang dimaksud Reefa.

"Kamu cemburu gara-gara ini?" Dimitri mengacungkan kartu itu, tersenyum lebar.

"Itu hanya pemicunya. Sikapmu jauh berubah beberapa hari ini, kamu terlihat dingin dan menjaga jarak, Dimka."

Dimitri menggeleng. "Bayangkan posisiku, Reefa. Aku menginginkanmu tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, sedangkan tingkahmu makin agresif padaku. Bagaimana aku harus bersikap? Sedangkan lamaranku tak pernah kamu acuhkan sedikitpun."

Reefa diam, memandangi pancake-nya. Ia menyadari sikapnya selama ini yang bermasalah.

"Jadi, kamu bersikap dingin bukan karena bosan kepadaku?"

Dimitri menggeleng. Ia mengambil tangan Reefa dan mengecup satu persatu jemari gadis itu sambil menatap lembut wajahnya.

"Aku tidak akan pernah bosan padamu, Reefa. Aku mencintaimu dan masih tetap ingin menikahimu.Apa itu kurang jelas?"

Kemudian tanpa Reefa sadari, Dimitri telah memasang sebuah cincin berlian pada jari manisnya. Reefa mengerjap, sejak kapan laki-laki itu melakukannya?

"Shareefa Agni Raffardhan, maukah kamu menikahiku, Arnawarma Dimitri Syahdinubrata? Laki-laki yang jauh dari kata sempurna tapi akan berjanji membuat hidupmu sebahagia yang aku bisa?" pinta Dimitri, ia masih menggenggam tangan Reefa. Mungkin lamarannya terdengar basi dan membosankan, tapi Dimitri tidak tahan untuk merayu Reefa ketika menyematkan cincin berlian yang ia beli di Singapura.

A Perfect LieWhere stories live. Discover now