"Hey"
Hati Savanah tercekat saat Juan berbicara padanya. Sudah lama sekali, sangat lama. Akhirnya dunia membuat mereka bisa berbicara satu sama lain setelah sekian lamanya.
"Kak Bandar!", aku berseru riang sambil menutupi kesedihanku.
Juan tahu ia orang yang kuat. Ia tidak boleh terlihat bodoh dan cengeng di depan seorang gadis.
Juan mencoba menutupinya sambil tersenyum lembut, "Masih sama"
"Kita sama-sama orang bodoh kan" kata Savanah dengan nada bercanda, mencoba mengusir kecangungan diantara mereka.
Julukan bodoh yang masih melekat pada diri mereka, bahasan yang selalu mereka pakai untuk bercanda ria.
"Bukan, aku yang bodoh"
Kata-kata itu meluncur saja dari mulut Juan.
Dan tiba-tiba hening diantara mereka.
Savanah tak mampu membalas perkataan dari Juan, yang ia ingin lakukan sekarang bukan apa-apa selain kembali pada masa yang menyenangkan seperti dulu.
"Kalau kamu diam, aku biar aku yang bicara saja dulu" kata Juan
Savanah pun menjawab dengan gugup, "Si-"
Belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Juan menyela, "Selamat tinggal. Maafkan aku untuk semua yang pernah terlewat dan terjadi. Aku harap kamu baik-baik saja setelah ini."
"Ke-?!"
"Sudah cukup, kamu nggak butuh alasan panjang dariku. Baik-baik ya Va. Kak Bandar cuma ingin kamu tenang dan bahagia."
Juan menyodorkan tangannya, tanda jabat tangan, jabatan perpisahan.
Savanah sempat tak mau untuk berjabat tangan dengan Juan. Bukan jijik, tetapi ia tau maksud jabatan itu. Ia tak mau. Tetapi pada akhirnya Juan tetap memaksa, Juan menarik tangan kanan Savanah dan meletakkanya pada tangan Juan sehingga mereka berjabat tangan.
Tangan mereka masih melekat, tak mau melepas. Sudah 11 detik lebih. Juan tak mau melepaskannya. Ia tidak rela jika ini harus jadi saat saat terakhirnya bersama Savanah.
Namun tiba-tiba Savanah melepaskan sendiri jabatan tangan itu. Terlihat Savanah mulai meneteskan air matanya.
Juan tak kuasa melihatnya. Tetapi apa boleh buat, sudah terlanjur.
Akhirnya ia mencoba berkata, "Dah, belajar yang rajin ya, pertahankan gambarmu. Oh bukan, tingkatkan, kamu harus terus latihan" Juan mencoba melunakkan perasaannya, "Sekali-sekali gambar wajahku,"
Bahkan aku sudah menggambar banyak wajahmu di kertas-kertas kesayanganku. Batin Savanah.
"Memangnya seberapa kurang terkenal sih aku? Pokoknya kamu harus ingat itu. Dan satu lagi.."
"Apa?"
"Jangan keluar dari bartender, tetaplah berkumpul meskipun kau tak nyaman bila ada aku. Kita ini keluarga bukan?" Keluarga? Jalankan keluarga, untuk kembali seperti semula menjadi teman saja belum tentu bisa. Kita bahkan tak pantas jadi keluarga. Batin Juan.
"Iya" jawab Savanah dengan berat.
Dalam air mata yang masih menetes, tiba-tiba Juan mendekat dan tangan kanannya membelai rambut Savanah. Lalu semakin turun, jarinya mencoba menghapus air mata gadis dihadapannya itu. Lalu di pegangnya pipi kiri Savanah.
"Maaf, kamu bisa cari yang lebih baik daripada aku"
Kata-kata itu cukup jelas dan cukup membuat hati Savanah semakin menjadi sedih.
Cukup lama tangan Juan berada pada pipi kiri Savanah. Lalu setelah merasa cukup mantap Juan melepaskan sentuhannya dan berbalik pergi meninggalkan Savanah di tempat itu.
Saat Juan berjalan pergi, tangisan Savanah semakin menjadi-jadi, hingga membuat Juan ingin berbalik lari dan mendekapkan gadis itu pada pelukannya.
Namun ia sudah bertekad, ia tidak boleh. Ia harus memberi ruang untuk Savanah. Ia harus membiarkan Savanah. Ia harus meninggalkan Savanah.
.
.
.
***
YOU ARE READING
When I See You From A Distance
Teen FictionAku rindu, rindu nafasmu. Hembusan nafasmu ketika kita bersama. Tertawa ria, bercanda, berbicara dan melakukan berbagai hal. Aku rindu itu. Tetapi sekarang hendak Tuhan berlainan. Vana, apa kamu dengar aku? Aku disini, sendiri, dan teramat kesepian...
