Empat Hadiah - Fantasy Fiesta 2012

Start from the beginning
                                    

Celotehannya seakan tanpa jeda bagai kicauan burung kucica. “Aduh, Piet, kenapa kamu tak hati-hati? Awas dong lain kali! Ah, terima kasih Mas sudah menyelamatkan patung antik peninggalan almarhum suami saya. Aduh, saya jadi lupa mengenalkan diri. Saya Mona, Mas siapa?”

“Saya Wisnu, Bu.”

“Wah, jangan panggil ‘Bu’. Cukup ‘Mona’. Nah, ini uang dan ongkos antar kadonya.” Mona mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya padaku. “Ambil saja kembaliannya, anggaplah buat tips.”

“Terima kasih, Mbak Mona. Kalau begitu saya permisi dulu…”

“Tunggu, jangan buru-buru.” Mona menyambar lenganku. Ia melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa, karena Piet sedang sibuk menghancurkan mainan barunya di halaman.

Dengan senyum nakal, Mona merapatkan tubuhnya padaku seraya berbisik, “Saya ingin minta tolong pada Mas. Semenjak ditinggal mati suami, saya sangat kesepian. Mas Wisnu ini tampan, lho. Bagaimana kalau Mas menemani saya tiap hari, jadi bapaknya Piet dan menangani perusahaan saya? Kita pasti akan hidup bahagia, tak kekurangan apapun.”

Bahaya! Sadarlah aku, ini godaan terberat yang sulit ditampik pria manapun juga.

Perlahan, kudorong wanita itu menjauh seraya berujar, “Maaf, Mbak Mona. Tawaran Mbak sungguh menggoda, tapi saya tak bisa menerimanya.”

“Lho, mengapa?” Barulah nampak sifat asli Mona si galak.

“Saya sudah punya kekasih,” jawabku, menatap lurus mata Mona. “Terus terang Mbak lebih cantik, lebih seksi dan jauh lebih berharta darinya, tapi saya tak bisa meninggalkannya, mengingkari janji setia padanya.”

Mona tersentak. Kesetiaan. Mungkin itulah yang hilang dari dirinya selama ini. Firasatku berkata, tak terhitung berapa kali ia selingkuh saat suaminya masih di dunia.

“Baik! Begini saja, kalau Mas menolakku, aku takkan pernah pakai jasa CV. Damai Semesta lagi!” ancamnya.

Aku tersenyum getir. “Urusan Mbak dengan saya tak ada hubungannya dengan perusahaan. Bila Mbak memaksa, lebih baik saya merugikan perusahaan dan kehilangan pekerjaan daripada kehilangan pendirian dan jati diri sebagai lelaki.”

Tanpa basa-basi lagi, aku berbalik pergi.

Dengan geram Mona berteriak, “Dasar berondong tak tahu diuntung! Pak Satpam! Usir dia!”

“Dengan senang hati! Wulan, Dahlia, kejar dia!” Si satpam mengerahkan dua anjing Pitbull-nya, membuatku lari tunggang-langgang ke motorku.

Sore itu juga kulaporkan hasil kerja, termasuk kejadian dengan Mona tadi pada Bos Nikolas lewat telepon.

“APA!?” Suara Nikolas menggelegar bagai guntur. “Wisnu, kamu baru saja menghilangkan langganan terbaik perusahaan kita! Kamu tahu apa artinya itu, ‘kan?”

“Ya, Pak,” jawabku datar. Sudah kuduga.

“Kamu gagal ujian, jadi saya sudah tak bisa membantumu lagi. Namun.” Nada bicara Nikolas kembali lembut kebapakan. “Saya salut pada sikapmu menjaga kesetiaan pada kekasihmu. Tapi seandainya kamu tak punya kekasih, apa kamu akan menerima tawaran janda kembang itu?”

“Mungkin tidak, menilik gaya hidupnya dan caranya mendidik anak.”

“Ho, ho, ho! Baik, kalau begitu kausimpan saja uang pembayaran dari Mona itu sebagai kompensasi. Pertahankan terus prinsipmu, semoga kamu menemukan pekerjaan yang cocok.” Tanpa menunggu jawaban dariku, Nikolas menutup pembicaraan.

Maka, hari-hari sebagai tukang ojek kembali kujalani.

Suatu ketika, seorang pria aneh menemuiku. Bertampang Tionghoa, perawakannya cukup tampan di usia tiga puluhan. Kumis tipis bertengger dekat sudut-sudut bibirnya, mata sipitnya menyorot penuh perhitungan.

Empat Hadiah - Fantasy Fiesta 2012Where stories live. Discover now