SCARLET

112 2 0
                                    

Sejak kapan sebenarnya aku sadar kalau aku berbeda dari yang lain?

Bukan karena buluku yang putih seperti salju ataupun ukuran tubuhku yang sedikit lebih besar. Aku menatap kawananku, memperhatikan anak-anak yang sedang menyusu, remaja yang saling bergulat, dan para dewasa yang sedang tidur-tiduran sambil mengawasi.

Mereka tampak puas dengan kehidupan yang mereka jalani. Rutinitas berburu, beristirahat, dan bermain sudah cukup untuk mengisi keseharian mereka.

Hanya aku yang merasa gelisah. Hanya aku yang merasa kurang.

Padahal sebagai anak pungut, hidupku sangatlah keras. Karena kebaikan Sang Pemimpin, diriku yang masih bayi saat terpisah dari kawananku sendiri, diambil dan dirawat bersama anak-anaknya.

Tidak mudah menjadi pendatang dalam sebuah kawanan. Sejak kecil aku terbiasa mendapatkan serangan tiba-tiba dari para remaja. Sering kali aku harus bersembunyi menyembuhkan luka-lukaku agar tidak ada yang menyerangku saat dalam keadaan lemah.

Jangan beranggapan Sang Pemimpin kejam karena diam membiarkan saja aku diperlakukan seperti itu. Beliau tahu bahwa aku harus berjuang membuktikan diri tanpa bantuan. Dalam kawanan, penerimaan harus diperjuangkan sendiri.

Baru setelah beranjak remaja, serangan-serangan itu berhenti. Rupanya anggota kawanan akhirnya memutuskan aku bukanlah ancaman. Apalagi karena sering melawan serangan sejak kecil, kemampuan bertarungku termasuk baik dibandingkan mereka yang seusiaku, sehingga Sang Pemimpin memasukkanku ke dalam kelompok Pemburu.

Sejak itu, beberapa remaja jantan mulai menunjukkan rasa tertarik padaku. Mereka yang ingin membentuk kawanan baru menginginkan kemampuan berburuku untuk membantu mereka. Sayangnya, aku tidak tertarik. Mereka masih terlalu muda dan tidak berpengalaman di mataku.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba kurasakan suasana berubah. Para remaja berhenti bergulat dan postur tubuh para dewasa menegang. Tatapan semua anggota kawanan terarah ke balik bebatuan. Sang Pemimpin telah kembali bersama pasangannya dari patroli berkeliling wilayah mereka.

Sosok gagahnya yang diselimuti bulu abu-abu melangkah ke atas batu. Moncongnya terangkat tinggi dengan kebanggaan sebagai yang terkuat di antara kami. Beliau menatap kami semua dengan mata emasnya yang tajam dan mengumumkan waktu perburuan.

Beliau ingin menyerang kawanan bison yang sedang melepas dahaga di sungai kecil wilayah kami. Daging bison yang tebal cukup untuk memberi makan kawanan selama beberapa hari. Namun bison juga adalah mangsa paling berbahaya bagi kami sehingga hanya Pemburu terbaik tidak terkecuali aku yang boleh mengikuti perburuan.

Dari tebing batu yang menaungi aliran sungai, kami mengawasi mangsa. Kelompok bison yang sedang minum berjumlah ratusan. Rupanya saat ini sedang musim kawin sehingga kawanan jantan dan betina bercampur.

Sang Pemimpin menunjuk sasaran perburuan kali ini, seekor bison gemuk di pinggir kawanan. Setelah memastikan semua Pemburu tahu sasaran kali ini, Beliau menoleh padaku. Kepercayaan tampak di mata emasnya. Aku tahu apa yang diinginkannya.

Aku telah ditunjuk sebagai Pengecoh.

Sering kali saat berburu mangsa dalam kawanan, satu dari kami akan bertindak sebagai Pengecoh. Tugasnya adalah menarik perhatian kawanan mangsa sehingga anggota Pemburu lain dapat menangkap mangsa di pinggiran. Pengecoh menanggung resiko paling besar dalam perburuan. Seringkali Pengecoh harus berhadapan dengan pemimpin kawanan mangsa dan terjangan kawanan mangsa yang panik. Tertusuk tanduk, tertendang, ataupun terinjak-injak adalah bahaya yang selalu membayangi.

Sasaran kali ini sangatlah berbahaya dan kelakuannya sulit ditebak. Apalagi saat musim kawin, bison umumnya sangat agresif. Pengecoh harus bisa bergerak gesit untuk menghindari tandukan dan serudukan kepalanya. Sang Pemimpin mengandalkan kelincahan menghindar yang membantuku melewati periode cobaan.

KUMPULAN CERPEN SFWWhere stories live. Discover now