06 - Sedih
Menangislah, sayangku
biarkan airmatamu mengalir
perlahan bersama puluhan anak sungai
jauh ke keluasan batinku
— Cecep Syamsul Hari💮
Pak satpam membuka gerbang kala Dion meneriaki namanya meminta tolong untuk dibukakan pintu pagar.
Setelah gerbang dibuka lebar-lebar, motor Dion memasuki halaman rumah Kikan. Rumah bernuansa klasik modern yang sangat nyaman untuk ditempati.
Sayangnya, rumah ini terasa begitu mati. Niat untuk mendapatkan kehangatan di dalam rumah malah beku yang didapat oleh Kikan. Rumah bukan lagi sebagai tempat berlindung untuknya. Melainkan dirinya sendirilah yang dijadikan tempat untuk berlindung. Selama beberapa tahun kebelakang, rumah hanya menjadi tempat singgah Kikan. Makan, tidur, mandi, dan begitu seterusnya.
"Ki," panggil Dion, tetapi yang dipanggil tidak kunjung menjawab.
Dion berdecak.
"HOY!"
"ALLAHUAKBAR!" Kikan berjengit sambil memegangi dadanya karena terkejut.
Kikan mencubit pinggang Dion dengan jurus mautnya. "Ih! Untung gue nggak ada riwayat penyakit jantung!"
Dion meringis kesakitan, mengusap-usap pinggangnya yang mungkin memerah karena cubitan maut dari Kikan.
"Aduh, lagian bengong bukannya masuk," ujar Dion sambil meletakkan sepatunya di rak yang sudah tersedia di depan sementara Kikan menenteng sepatunya dan membawa masuk ke dalam, kemudian Dion berjalan masuk mengekori Kikan dari belakang.
Dion membanting tubuhnya di sofa hitam yang empuk sambil mendesah pendek dan melepas jaketnya yang diletakan di sisi sofa.
Laki-laki itu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan tubuh yang merosot ke bawah. Dion menikmati ruangan ber-AC itu sambil memejamkan matanya. Terlihat lebih damai dibanding saat Dion membuka matanya, karena bawaannya Kikan pengen nabok sampai Dion terpental ke Afrika Selatan.
"Nih, minum." Kikan meletakkan gelas berisi air dan es batu ke atas meja.
Dion menegakkan badannya dan tersenyum ke Kikan, mengambil gelasnya dan meneguknya hingga tersisa setengah.
"Haus banget, Bang?" Kikan terkekeh dan duduk di sebelah Dion dengan jarak tidak terlalu dekat.
"Panas banget di luar."
Kikan mengangguk setuju.
Kini keduanya terdiam, mebiarkan dirinya sibuk dalam alam pikirannya masing-masing.
Dion menoleh ke kiri, menatap Kikan yang sedang tenggelam dalam pikirnya. Dion mengikuti arah pandangan Kikan yang mengarah ke sebuah bingkai besar yang menghias dinding putihnya. Terpampang jelas figur sebuah keluarga kecil yang memamerkan senyumnya masing-masing. Di sebuah studio foto, papa di kiri, Kikan di tengah, dan mama di kanan sambil merangkul bahu Kikan.
"Hey," panggil Dion dengan lembut kemudian menggeser duduknya menghapus jarak yang semula sengaja diciptakan.
Tangannya tergerak untuk menggenggam tangan Kikan, kemudian gadis itu menyembunyikan kepalanya di bahu kiri Dion, seakan mengerti dengan keadaan Kikan, Dion membiarkan Kikan menumpahkan semuanya dalam diam.
Setidaknya, ini lebih baik daripada menumpahkan semuanya dengan amarah.
"It's okay," ujar Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
City Lights
Teen FictionSebenarnya, Kikan jengkel karena Dion terus-menerus mencampuri urusannya. Tapi malam itu, di hadapan lampu-lampu kota yang menyala, untuk pertama kalinya Kikan berterima kasih karena Dion mencampuri urusannya.[] City Lights © 2017 - thephoenixs