Lynne

125 18 3
                                    

[another shortfic, or.... songfic /?/

Note: kalau ada kuota, play saja musicnya x'D]

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Holding my red wrist,
I, alone, swaying like a rootless weed.
Drinking rusty water,
I wait for the next station. "

-Lynne, song composed by: HACHI-

.

Aku masih ingat jelas gambarannya.

Keluarga kecil kami tinggal di sebuah desa yang agak jauh dari kota. Desa yang penuh dengan sawah dan bukit bukit kecil di sekelilingnya. Aku menyukai tempat tinggalku, aku punya teman bermain, kandang ayam di belakang rumah, kucing, dan keluarga yang hangat.

Meski biasanya aku dan teman temanku lebih sering bermain di lapangan atau sawah, aku punya tempat rahasia sendiri. Sebuah dataran kecil yang bisa ditemui jika kau berjalan menyusuri bukit. Di sana ada sebuah rel kereta api yang sudah lama tak terpakai. Tinggi rel nya nyaris setara dengan tanah dibawahnya, pun tak ada kerikil yang biasa ditaruh di sepanjang rel pada umumnya.

Aku sering pergi ke sana membaringkan kepalaku di atas rel, merasakan rasa sepi dari lintasan yang telah di tinggalkan itu, aneh memang, tapi aku menikmatinya, rasanya menantang.

Sampai suatu hari aku bertemu seorang wanita.

Wanita itu memiliki sorot mata yang sedih namun cantik, ia memakai gaun putih yang berkibar kibar jika angin datang dan membawa sebuah tas.

Satu satunya alasan aku tak bisa mengingat kapan aku bertemu dengannya adalah karena dia selalu berada disana sepanjang saat. Bahkan saat aku pulang ke rumah. Awalnya kukira dia menunggu seseorang, kadang wanita itu berdiri tegak memandang lurus ke depan, jika letih ia akan duduk di batu besar yang ada di bawah pohon, lalu berdiri lagi, melihat ke arah rel, melirik jamnya, menghela nafas.

Lama lama aku sadar. Dia bukannya menunggu seseorang.

Tapi menunggu kereta.

Suatu saat, aku memberanikan diri mendekati wanita itu. Tampaknya dia sama sekali tak peduli padaku yang ikut berdiri di sampingnya. Matanya tetap menatap lurus. Aku mengikuti arah kemana rel itu menuju di kejauhan. Kosong. Tentu saja, lagipula ini rel yang ditinggalkan mana mungkin ada kereta yang lewat.

"Kakak menunggu kereta?" tanyaku, berharap dia menoleh ke arahku.

"Ya" ia berkata tanpa nada.

"Kereta apa yang kakak tunggu?"

"kereta yang berwarna abu-abu"

Tapi nyaris semua kereta warnanya abu-abu, pikirku.

"Dengan garis merah" lanjutnya.

Oh, aku mengangguk angguk meski penjelasan itu masih seganjil dirinya sendiri. Ada hening sejenak sebelum aku memutuskan untuk bertanya lagi.

"Kenapa kakak tak kembali saja dulu? Kakak capek menunggu disini sepajang hari bukan?"

"Tidak bisa" saat itu angin menghembuskan rambut panjangnya, "aku tak punya kereta untuk kembali"

Lagi. Jawaban yang ganjil. Ah, menyebalkan, kalau begitu aku akan memberinya pertanyaan yang tak kalah aneh.

"Kenapa kakak menunggu kereta?" tanyaku. Cukup aneh menurutku karena harusnya jawaban ini sudah pasti, siapapun yang menunggu kereta karena mereka memang ingin bepergian bukan? Tapi harusnya aku memang tak bisa mengharap jawaban yang normal.

"Aku ingin keluar dari sebuah lingkaran"

Aku kembali memerhatikan wajahnya yang masih mengharapkan sesuatu datang dari kejauhan.

"Lingkaran?"

"Aku selalu memutarinya, lingkaran itu, tapi tidak bisa"

"apa yang terjadi saat kakak berusaha keluar?"

"aku dilempar kembali ke dalamnya, aku berusaha lagi, lalu diseret untuk kembali ke dalamnya, berulang kali" ia lalu melirik jam tangannya, "meski sakit, anehnya tak ada bekas luka di tubuhku,"

Ah ya, aku sendiri tak pernah bisa menunjukkannya. Luka, yang lebih sering kusimpan unuk diriku sendiri.

"Kenapa kakak ingin keluar lingkaran?"

Dia tak menjawab. Oke, kuganti pertanyaanku.

"Apa yang ada di luar lingkaran?"

"Hitam. Gelap"

Aku ingin bertanya, kalau dia punya sebuah lingkaran yang sudah pasti kenapa ia bertaruh kepada kegelapan di luarnya? Tapi kurasa itu bukan suatu hal yang menyimpan jawaban, dan lagi saat aku bersiap untuk bertanya, tanah di sekitarku bergetar.

"Datang, keretanya"

Deru mesin dan suara roda yang beradu kencang dengan besi karatan dari rel mulai terdengar mendekat. Aku tak memercayai pendengaranku sendiri tapi saat melihat cahaya yang datang menyinari senja dikejauhan aku tahu itu sebuah kereta. Dan sekarang meski tak ada palang rel aku bisa mendengar suara sirene yang biasa dibunyikan ketika kereta datang.

Aku menoleh ke arah wanita bergaun putih itu. Aku ragu apakah kereta ini akan behenti untuknya. Cahayanya nyaris membutakan mataku, dan saking kencang deru nya aku menutup telinga.

Saat kereta mulai melintas dihadapanku semua terasa melambat. Wanita itu berjalan kedepan, menjatuhkan tas kosong yang digenggamnya. Menapaki rel dengan sepatu hak pendeknya. Merentangkan tangannya. Menatap ke arahku untuk yang pertama...

Dan terakhir kali. 

Sebuah senyum tersungging di bibirnya. dan  sesaat aku seperti mengenali wajahnya.

.

Saat semua berubah merah tanpa bisa kucegah, aku berlari menjauh secepatnya. Terjatuh sampai mebuat lututku luka. Tapi aku terus berlari sampai ke rumah. Berteriak saat sudah sampai di depan dan meraih tangan ayahku. Memaksanya untuk ikut ke rel kereta.

Aku harus menolong wanita itu, sebelum terlambat, sebelum senyum di wajahnya terhapus, atau daging di tubuhnya terkoyak. Meski aku tahu itu sia-sia.

Tapi saat aku sampai di tempat tadi semuanya sudah hilang. Tak ada bekas bekas kereta yang lewat. Tak tas yang ditinggalkan si wanita bergaun putih ataupun sisa sisa dirinya.

Tak ada darah.

Tak ada luka.

Tak ada....

.. Rel kereta api.

Aku hanya bisa menghapus semua air mataku saat ayah menegurku untuk tidak kembali kesini lagi.

.

Ya, lagipula semua yang kulihat hanya ilusi bukan?

.

.

.

Deru bising dari suara mulut orang orang kadang terdengar lebih bising dari kereta, sampai kau ingin menutup telingamu atau berharap kau tuli untuk sesaat agar tak mendengarnya.

"Kakak sedang menunggu kereta?"

Aku tersadar dan mendapati seorang anak kecil disebelahku bertanya. Rasanya dulu hal seperti ini pernah terjadi.

Ah aku tahu, akhirnya aku mengetahui siapa wanita yang kutemui rel kereta imajiner waktu itu.

Sepertinya, aku masih terjebak di lingkaran..

.

AN:

hmm ini jenis cerita yang interpretasinya agak gajelas seperti cerita 'Pintu-pintu' yang kubuat. jadi tak usah terlalu dipikirkan


Coba Kita Bertanya Pada Rumput yang BergoyangWhere stories live. Discover now