"Karena itu wajahmu berbeda?"

Cecil mengangkat alis, mengiyakan. "Aku memilih menjadi Cecil dan menjadi orang lain. Nama takkan bermakna karena nantinya kau akan lupa," dengan telunjuknya, perempuan itu menyentuh kening Raka. Ia mengalihkan telunjuknya dari kening pada dada Raka di mana jantungnya berdegup teratur, "tetapi ini, akan selalu ingat. Segala emosi dan perasaanmu; bagaimana jantungmu bereaksi ketika kau bertemu orang yang terkasihi atau ketika kau marah hingga ubun-ubun. Sakit, sedih, bahagia, di sini dia mengingatnya. Sesungguhnya, Raka, aku mengenalmu sejak kau masih kecil."

"Tapi kita baru kenal pertama kali waktu kuliah."

"Apa iya?"

Pertanyaan itu mengambang di udara sementara Raka tak tahu harus berkata apa. Cel mengalihkan pandangannya dan ketika berbalik wajahnya yang asing berubah menjadi Cecil yang ia kenal selama ini: lebih bulat meskipun sama pucatnya dengan satu buah tindik di hidung. Ia memalingkan wajah lagi dan kini wajahnya berubah menjadi tetangganya ketika Raka masih tinggal di Ibu Kota dulu. Kemudian wali kelasnya waktu masih sekolah dasar, salah satu temannya di sekolah menengah pertama, dan salah seorang penjual warung langganannya untuk membeli rokok. Perempuan itu mengusap wajahnya dan kembali pada perangai Cecilia, si teman satu studio Raka. Setiap perempuan itu mengubah penampilannya, mata Raka tak hentinya terbelalak hingga mengira tak lama lagi uratnya akan lepas; membuat bola matanya menggelinding ke tempat tidur.

Mengerang, pemuda itu membaringkan lagi tubuhnya ke tumpukan bantal di belakangnya. Raka menggaruk kepala sembari melihat langit-langit yang kusam, menarik napas panjang dan berujung mendesis sembari memaki.

"Kau ini sebenarnya apa?" ucap Raka masih memandang langit-langit, "Aku paham kau bukanlah manusia. Kepalaku sudah mau pecah akan segala fakta yang aku dapat selama ada di sini. Aku bahkan sudah enggak bisa terkejut."

Cel duduk di tepi tempat tidur dan menggulung rambutnya di atas kepala sebesar jeruk bali. Ia menatap jendela dengan langit yang sudah berubah jingga. Memeluk kaki kirinya, perempuan itu berkata, "Kau ingat Cyrus?"

"Orang bertindik dan banyak omong itu? Ada apa dengannya?"

"Aku sama dengannya," ujar Cel, "dan namaku sebenarnya bukan Cecilia, melainkan Celene."

"Raksaka?" dengusan Raka berubah menjadi tawa pilu, "Celene...Cecil.... Huh, apa-apaan. Aku hanya ingin tahu fakta di balik kematian Jun, tetapi apa yang aku dapat? Ruska, Orenda, raksaka, patcher, dan hal-hal tak masuk akal lainnya.... Bahkan salah satu teman terdekatku bukan manusia! Sialan. Bohong semuanya."

Raka menegakkan tubuhnya, bahu dan dadanya sedikit ngilu, "Apa ada hal lain dalam hidupku yang masih terbalut dusta?! Apa kau bahkan sesungguhnya tahu kenapa Jun mati?" Ia menghela napas panjang, memandang langit senja di balik jendela. Ia berbisik lirih, "Apa aku masih bisa mempercayaimu?"

"Aku tidak memaksa maupun memintamu untuk percaya. Kau berhak untuk kecewa, bahkan untuk marah, tapi aku tidak bisa mengatakan bahwa aku salah. Kami melakukan ini karena janji yang telah kami buat."

"Kami? Janji? Maksudmu—" perkataan Raka teralihkan dengan ketukan pintu kamar.

Indhi melongokan batang hidungnya. Wajahnya terlihat lega mendapati Raka telah terjaga. Indhira, mengabaikan keberadaan Celene, mendekap Raka erat. Terlihat banyak goresan pada lengan gadis itu, masih kotor karena tanah dan juga debu. Tanpa kata, tanpa ucap, kelegaan Indhi teralirkan dalam pelukannya. Kehangatan yang terasa mendorong Raka untuk melakukan hal yang serupa, membalas dekapannya, membelai rambut pendek Indhira.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Raka.

"Aku baik-baik saja," Indhi menelan air liurnya, "tetapi yang lain tidak."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now