1.b. Hujan

18 2 0
                                    

Aku diantar pak supir menuju sekolah. Pak supir pribadiku. Pak Anton. Seorang pria yang sudah berkepala empat. Ia selalu menghantarku pergi sekolah sejak SMP hingga kini, SMA. Dari dalam mobil, aku melihat keluar. Tetes-tetes hujan berjatuhan di muka bumi ini.

Aku melihat tulisan SMA Negara terpampang di pintu masuk sekolahku. Aku diturunkan di depan gerbang oleh Pak Anton. Karena kendaraan roda empat tidak diperbolehkan memasuki area sekolah. Hari ini aku lupa membawa jaket. Di mobil pun payung juga tidak ada. Terpaksa aku berlari-lari memasuki pintu gerbang. Dan berjalan melewati halaman depan dengan keadaan hujan menitik di diriku. Lalu menelusuri koridor. Kelasku di gedung nomor dua. Untuk kesana aku harus melewati halaman lagi. Karena koridor penghubung Gedung satu dan dua tidak ada. Aku kembali berlari-lari di halaman agar bajuku tidak terlalu basah. Ini kesialanku karena lupa membawa jaket dan payung juga tidak ada. Tiba-tiba, hujan berhenti. Aku berhenti melangkah. Aku heran. Aku melihat sekeliling. Aku masih berada di halaman. Tetesan hujan masih berjatuhan di muka bumi ini. Namun, kenapa aku tidak basah. Aku mendongak ke atas. Ada payung bewarna hijau di atas kepalaku. Aku melihat ke belakang. Ada seorang cowok yang memegangi payung untukku. Wajahnya sangat familiar. Dia tersenyum ke arahku. Dia Hanzel. Namun, dia basah.

"Elo Hanzel kan?" Tanyaku memastikan. Dia mengangguk masih sambil tersenyum.

"Elo ngapain? Ntar elo sakit kalo hujan-hujanan" Ucapku agak keras. Karena hujan semakin lebat. Hanzel memang memegangi payung. Tapi payung itu bukan melindungi dirinya dari hujan.

"Kalau gitu gue boleh gabung di payung ini bareng lo?" Tanya nya.

"Udah. Pake aja payungnya. Gue cabut dulu" Ucapku lalu lari ke koridor dua. Aku tinggalin Hanzel sendiri di tengah lapangan dengan payung hijaunya.

Seseorang berlari di belakangku. Lalu ketika sudah dekat. Dia berjalan. Tapi dia tidak mendahuluiku. Dia berjalan dibelakangku sambil menyamakan langkahnya denganku. Hanya mengekor dibelakangku. Aku merasa aneh dan membalikkan badan. Siapa yang mengikutiku?

Dia Hanzel.

"Eh, kenapa?" Tanyaku.

"Tadinya aku mau balas budi. Mau ngasih payung ini" Ucapnya sambil nyodorin payung.

"Aku udah di koridor. Ada atapnya. Gak butuh payung lagi. Makasih. Lagian gak usah balas budi" Ucapku lalu jalan menyusuri koridor menuju kelasku. Aku menaiki anak tangga secara perlahan. Takut jika nanti tergelincir. Aku merasa kasihan meninggalkan Hanzel lagi. Tapi badanku udah keburu dingin di luar kelas. Aku ingin cepat-cepat ke kelas.

Setelah berada di depan pintu kelas. Aku membuka pintunya. Jarang pintu kelas tertutup jam segini. Pas aku buka pintu. Suasananya kosong. Tak ada satupun tas yang terletak di bangku. Namun anehnya, susunan meja dan bangkunya berbeda. Aku mendengar suara langkah di belakangku.

"Kelas elo pindah ke gedung satu lantai dua, disamping kelas gue. Kelas yang ini bakal dipake sementara buat rapat" Ucap suara dibelakangku. Aku segera melihat ke belakang

"Makanya, ini gue kasih payung. Elo gak nerima" Ucapnya. Lagi-lagi dia Hanzel. Aku merasa bersalah karena menolak pertolongannya. Dan meninggalkannya dua kali tadi. Sepertinya aku harus menerima payungnya jika tidak sudah dipastikan bajuku bakal basah kuyup karena hujan yang udah semakin lebat juga.

"Kalo gue pake ini. Loe pake apa?" Tanyaku memastikan bagaimana keadaannya.

"Aman. Gue ada cara kok" Ucapnya pergi dan menuruni tangga.

"Makasih. Anggap aja budi loe udah terbalas ya" Ucapku sebelum badannya menghilang dari pandanganku. Aku melihat ke gedung satu yang berhadapan dengan gedung dua ini. Aku berdiri di balkon. Aku melihat teman sekelas ku memasuki salah satu ruangan di lantai dua. Penglihatanku kemudian teralihkan ke halaman di antara gedung satu dan gedung dua. Ada seorang laki-laki yang sedang berlari-larian ditengah hujan yang kian deras. Sepertinya aku mengenali rambutnya. Rambutnya yang tersapu oleh angin dan basah oleh air. Dia Hanzel!

Aku merasa bersalah. Hanzel jadi basah karena memberikan payung kepadaku. Aku lalu menuruni anak tangga. Lalu mengkembangkan payung hijau ini. Aku berjalan sendirian melewati halaman. Rintik-rintik deras menghujam bumi nusantara ini. Berapa pun tetesan hujan yang turun. Dia akan menguap dan menjadi hujan lagi. Tapi sebelum sempat menguap, ia akan memancarkan cahaya yang indah. Pelangi. Yang kutunggu kini ialah pelanginya. Salah satu cahaya dalam hidupku yang sangat indah.

Lalu aku menaiki tangga gedung satu dan menuju kelasku. Meletakkan tas di bangku dekat jendela. Aku suka melihat hujan. Mungkin karena tetesannya yang banyak namun tak jelas terlihat atau mungkin karena hujan membuat semua hal menjadi sunyi, buktinya hanya suara hujan yang paling keras terdengar. Tak ada yang lain. Itupun jika hujan tidak disertai badai.

Payung Hanzel yang sudah aku tutup, aku letakkan di samping kursi. Diantara aku dan tembok. Lalu pikiranku pun melayang melihat setiap tetes berharga hujan. Jiwaku hanyut dalam alam khayalku sampai guru masuk ke kelas.

___000___

My ConquerorOn viuen les histories. Descobreix ara