Bab 5 - Tremble

8.7K 1.2K 61
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


IG @Benitobonita


Rafael berjalan tergesa-gesa menuju kamar tidur adiknya. Mengetuk pelan, dia berkata, "Virginia, ini aku."

Pintu terbuka perlahan. Melangkah masuk, pandangan Rafael segera mencari adiknya berada. Ranjang milik Virginia yang berada di sebelah lemari kayu pakaian masih rapi. Menoleh ke arah cermin meja rias yang berada di sisi jendela, pria itu melihat pantulan adiknya yang meringkuk dan menyembunyikan kepala di antara lutut pada sudut kamar.

Menutup pintu, Rafael berjalan mendekati Virginia yang masih gemetar lalu berjongkok di sisi gadis itu. "Virginia, apa kau membutuhkan dokter?"

Gadis itu menggeleng tanpa mengangkat kepalanya.

"Apa kau ingin kuambilkan brendi?"

Mengangguk pelan, Virginia mencengkeram gaun yang dia kenakan.

Menghela napas, Rafael bangkit lalu membuka lemari milik adiknya. Sebuah botol berisi minuman keras selalu tersedia untuk saat-saat seperti ini.

Menuang isinya sedikit ke dalam gelas yang berada di atas meja rias. Rafael mendekati adiknya lalu kembali berjongkok. "Minumlah."

Virginia mendongak dengan wajah pucat pasi, mata gadis itu sembab. Gemetar, dia meraih gelas lalu menegak cairan itu secara cepat.

Rasa hangat menjalar, membuat pipi gadis itu kembali bersemu.

"Apa kau sudah baik-baik saja?" tanya Rafael memperhatikan wajah adiknya dengan ekspresi khawatir.

Mengangguk gadis itu meletakkan gelas di samping dirinya.

"Apa yang terjadi?" tanya Rafael, duduk bersandar pada dinding, "apa Daniel berbuat kurang ajar kepadamu?"

"Dia terus menerus menggangguku," jawab Virginia dengan suara gemetar, mengeratkan pelukan pada kedua kaki yang tertekuk. "Aku tidak menyukainya."

Rafael menghela napas, dia memang curiga bahwa tamu mereka tertarik dengan adiknya. "Virginia, Papa optimis kalau Daniel memiliki jalan agar kita dapat mempertahankan rumah ini."

Gadis itu terdiam, dia mencintai rumah yang memiliki banyak kenangan tentang ibu mereka. Baron Arvie memang tidak pernah memiliki bakat dalam mengelola keuangan. Setelah kematian istrinya, segala sesuatunya menjadi kacau balau hingga pria itu terlambat menyadari.

Sekarang dengan segenap kemampuan yang dimiliki, pria tua itu beserta putra sulungnya berusaha mempertahankan kekayaan yang tersisa.

"Dapatkah kau menolerir keberadaan Daniel untuk beberapa hari? Kau tahu bahwa Papa akan segera mengusirnya apabila dia mengetahui kejadian hari ini."

Virginia menelan ludah. Dia tidak ingin menyulitkan ayah dan kakaknya. "Ma-maaf," bisiknya kembali gemetar, "aku tidak bermaksud merepotkan kalian."

"Bodoh, bukan itu maksudku," balas Rafael, menoleh ke arah adiknya. "Kau tidak pernah merepotkanku."

Gadis itu meletakkan dagu pada lututnya. "Aku akan mencobanya."

Menghela napas, Rafael menekuk kaki kanan lalu mendongak menatap langit-langit kamar.

Dalam keheningan, kakak dan adik itu menghabiskan waktu bersama tanpa berkata-kata.

*****

Daniel memperhatikan sejenak kepergian Rafael sebelum membalikkan tubuh untuk menemui tuan rumahnya. Mata pria itu mengamati dengan saksama interior yang berada di sekitarnya.

Rumah milik Baron Arvie lebih kecil dari miliknya. Namun, sangat nyaman. Sentuhan tangan wanita terasa pada tempat itu. Berbagai jenis bunga yang tidak dia ketahui namanya, terlihat menghiasi setiap sudut ruang.

Tersenyum kecil, Daniel membayangkan bahwa tentu akan menyenangkan apabila rumahnya juga memperoleh perhatian yang layak dari istrinya kelak. Bayangan Virginia menunduk menata kembang dalam vas pada salah satu kamar yang berada di tempat tinggalnya tergambar jelas.

Daniel mengetahui kesulitan keuangan yang sedang dihadapi oleh Baron Arvie. Pria tua itu terang-terangan menceritakan seluruh masalahnya. Memperoleh restu untuk menikahi putrinya tentu bukan hal yang sulit.

Berdiri di depan ruang kerja yang dituju. Daniel merapikan cravat sebelum mengetuk pintu dan membukanya.

*****

Halaman Baron Arvie mungil, tetapi indah. Terletak di sisi belakang rumah, tempat itu bagaikan surga kecil yang dihiasi beraneka ragam jenis kembang.

Virginia membawa sebuah keranjang anyaman lalu menunduk, menghirup aroma bunga mawar merah sebelum memutuskan untuk memetik beberapa.

Meraih gunting kecil dari keranjang, gadis itu dengan tangkas memotong tangkai lalu memangkas duri yang dapat melukai kulit seseorang.

"Mawar memang indah, sayang sekali berduri." Ucapan dari Daniel yang tengah berdiri tepat di belakang gadis itu, mengejutkan Virginia.

Memutar tubuh untuk memberikan teguran keras kepada pria menjengkelkan yang kembali mengganggunya , wajah Virginia langsung beradu dengan tubuh Daniel.

Aroma kayu cedar yang berasal dari tubuh Daniel segera menyeruak masuk ke dalam penciuman, sehingga membuat Virginia mematung sesaat sebelum melangkah mundur.

Jantung Daniel berdebar. Menahan keinginan untuk menarik dan mencium gadis itu, dia bertanya, "Bagaimana keadaanmu? Kemarin kau pergi begitu saja dan Rafael mengatakan kau sakit kepala sehingga tidak ikut makan malam."

"Aku baik-baik saja," ucap gadis itu, memberikan tatapan dingin, "alasan aku sakit kepala karena kau terus menggangguku, jadi kuharap kau dapat menjauh."

Namun, Daniel menyeringai. "Bila aku yang menyebabkan kau mengalami sakit kepala, maka aku bertanggung jawab untuk menyembuhkannya."

Mengentakkan kaki untuk menunjukkan rasa kesal, Virginia membalikkan tubuh lalu mengabaikan pria itu. Tanpa memedulikan si pengganggu, dia kembali memetik bunga.

Daniel mencari tempat bersandar, sebelum bersedekap. Tersenyum kecil, pria itu berkata, "Apa kau sudah pernah mendengar cerita bahwa suku asli benua Amerika adalah orang-orang yang dapat berbicara dan bersahabat dengan serigala?"

Virginia tidak menjawab, gadis itu terus melakukan kegiatannya seakan-akan dia tidak mendengar apa pun.

"Suku itu menyebut diri mereka sebagai orang Indian. Kulit mereka merah tanah dan memiliki rambut hitam," lanjut Daniel.

Namun, Virginia terus memilih bunga mawar terbaik untuk dipetik dan tidak mengindahkan pria itu.

"Pernah suatu hari, aku melihat mereka menunggang kuda tanpa pelana disertai beberapa ekor serigala. Wajah mereka di cat dengan berbagai warna, dan mereka memakai bulu sebagai topi."

Gerakan Virginia terhenti sejenak. Gadis itu mulai tertarik akan kisah yang baru saja dia dengar. Mengertakkan gigi, dia berusaha mengabaikan keinginannya bertanya lalu menyibukkan diri dengan memotong duri pada tangkai mawar yang berada dalam genggaman.

Menghela napas secara terang-terangan, pria itu berkata dengan penuh penyesalan. "Sayang sekali kau tidak tertarik, mungkin aku akan menyimpan kisah ini untuk gadis lain yang lebih menghargainya."

Membalikkan tubuh, Daniel berjalan pelan meninggalkan perempuan itu.

Virginia menarik napas terkejut, dia tidak menyangka Daniel akan pergi sebelum pria itu menyelesaikan ceritanya. Menahan diri untuk memanggil pria itu, Virginia memendam dalam-dalam rasa penasaran akan kelanjutan kisah yang baru saja dia dengar.

*****

Daniel menghela napas, ternyata gadis itu lebih keras kepala dibandingkan perkiraannya. Dia telah menghitung hingga seratus, tetapi Virginia masih belum memanggil dirinya.

Berjalan masuk ke dalam rumah, Daniel memutuskan untuk mencoba taktik lain untuk menggoda gadis angkuh yang telah menawan hati pria itu.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

19 September 2017

Benitobonita

His Virginia : Mencairkan Hati yang BekuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang