"Kukira kau sudah pergi," tutur pria botak itu, memainkan sebatang rokok di jemarinya.

"Tadinya aku sih mau pinjam Dolores sebentar," perkataan Ravi langsung mendapatkan tudingan dari pria botak itu, membuatnya membatalkan niatannya untuk berbicara.

"Tidak ada yang boleh menyentuh Dolores sebagaimana aku menyentuhnya!"

Nova mengerutkan alisnya mendengar perkataan ambigu itu. "Ew," komentarnya dingin nyaris tak terdengar oleh kedua pria dewasa itu.

Pamannya mengacak-acak rambut Nova, mengambil setangkap roti yang ditawari oleh Luke dan dengan senang hati menerimanya. Namun sayangnya, Nova tidak merasa lapar. Gadis itu hanya mengoles roti tanpa dilahap, menatapnya dalam-dalam seolah-olah tengah mencari setitik jamur tanda roti basi. Embusan angin dari halaman belakang menyadarkan dirinya yang tidak mengenakan mantel berwarna biru tuanya. Tiba-tiba gadis itu merasa telanjang. Di balik kaos putih lengan panjang yang ia pakai masih menyembul guratan-guratan tato di tubuhnya. Dia tidak suka orang-orang memandanginya meskipun pada kenyataannya, orang-orang di Marcus's Toe tidak begitu mengindahkan hal tersebut.

Tanpa membuka mulut, gadis itu kembali ke kamarnya semalam, mencari-cari jaket serta buku catatan yang selalu ia bawa ke mana-mana. Saat ia kembali bagaikan kilat, kedua pria dewasa itu saling tatap dan mengalihkan pandangannya pada Nova, bertanya kenapa gadis itu tergesa.

"Carilah dia ketika matahari di bawah lautan pasang. Di sudut kota ketika tak ada satu lampu pun yang menyorot, setangkai bunga tumbuh kokoh di atas sekaleng tanah penuh batu. Ada harapan dalam tafsiran menunjukkan kenyataan," Ravi melafalkannya tulisan yang tertera di sana, kerutan pada alis pria itu semakin dalam. Ia bertanya, "Ini tulisan Flint, 'kan?"

"Ya, aku tahu," ucap Nova sambil menyobek roti selainya, "Orang itu nampaknya menyimpan ini dalam jaket yang kupakai. Aku benar-benar heran kenapa dia menuliskan pesan ini dengan teka-teki."

Mengulurkan tangannya, Luke meminta kertas yang Ravi pegang, "Stone Roses," Luke berceletuk.

Ia menyelipkan rokok di bibir dan mencoba menyalakan pemantik yang tak kunjung tersulut. Paman dan keponkan itu mengerjapkan mata ke arah Luke, menunggu pria botak itu untuk menjelaskan. Heran, pria botak itu mengulurkan lagi kertasnya, menunjuk salah satu bagian dari kalimat itu.

"Memangnya kalian enggak bisa lihat? Ini 'kan gampang! Setangkai bunga tumbuh kokoh di atas sekaleng tanah penuh batu. Stone Roses! Kau enggak tahu, Ravi?" Melihat Ravi yang menggeleng membuat pria itu mendesis gemas, "Studio tato di Ratways!"

"Ah!" pekik Nova; spontan menutup mulutnya. Pikirannya kembali ke empat tahun silam ketika Nova masih berusia empat belas tahun. Flint membawa Nova ke sebuah tempat di kota itu, jauh di bagian bawah yang minim cahaya. Siang ataupun malam, gadis itu tidak bisa membedakannya dan saat itu dia benar-benar takut. Nova menggenggam tangan ayahnya sekuat mungkin, tetapi pria itu tidak berbalik meremas tangannya.

Tak ada ucapan bahwa semua akan baik-baik saja; kecemasan yang tumbuh karena ketidaktahuan malah berakhir penyesalan. Ketika jarum itu memasukkan tintanya ke dalam kulit, Nova tak hanya meringis. Ia juga mengigit bibirnya hingga terkecap rasa besi pada lidah. Banyak; terlalu banyak waktu yang tersita untuk merajah seluruh pola pada punggung dan tangannya hingga terasa kebas. Meskipun sang ayah berada terus di sisi gadis itu, Flint tidak banyak memberikan dukungan moral.

Pria itu melipat tangannya di depan dada, wajahnya tanpa ekspresi. Beberapa kali ia berdiri mengecek kesesuaian gambar dengan sketsa, lalu kembali duduk di kursi. Satu kali Nova menjerit bahwa dia tidak mau melakukan ini lagi, Flint menggenggam tangannya mengatakan bahwa ini untuk kepentingan Nova di masa depan nanti. Sekarang, lima tahun sejak tubuhnya dirajah di luar kehendaknya, Nova baru paham apa maksud dari tato itu. Cuma kutukan.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now