"Rasa suka sepihak karena dia jauh lebih mencintai sepupu gue. Tapi anehnya dia nggak membuat gue patah hati justru dia menyembuhkan luka hati gue." Beberapa detik kemudian aku tertawa sendiri karena merasa lucu dengan topik obrolan kami ini. Dua laki-laki dewasa yang duduk berdua dan bicara tentang patah hati. Dion ikut terbahak saat aku mengatakan pemikiranku barusan.

"Itu yang namanya obrolan dewasa, bro." Dion mengoreksi dan kembali membuat kami terkekeh. Tawa kami melebur bersama keramaian di tempat ini dan di bawah temaram lampu-lampu jalan di sekitar Clarke Quay. Kami mengobrolkan banyak hal tentang masa kami tidak bertemu dan apa yang terjadi dalam hidup kami saat itu, sampai aku mengabaikan beberapa telepon yang masuk.

"Terima saja dulu." Dion berkata saat ponselku kembali berbunyi dan ada nama Tania di sana. Aku sebenarnya enggan untuk menjawab namun tiba-tiba saja ingatanku menghadirkan tentang pertemuanku dengan Ava malam itu. Hal itu mendorongku untuk akhirnya menjawab telepon Tania.

"Bentar ya." Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke arah sudut yang tidak terlalu ramai agar aku bisa mendengar dengan jelas.

"Halo Tania."

"Gue ganggu ya?" suara itu terdengar ragu.

"Nggak." Jawabku berbohong karena teleponnya memang sedikit mengangguku namun aku tidak bisa memungkiri kalau aku sedikit punya harapan dengan telepon ini. Sesuatu yang aneh sedang terjadi padaku setelah malam itu. Setelah aku mendengar kalimat Ava yang mengejutkan sekaligus membuatku tertantang. Aku memang sedikit meremehkan kata-katanya saat itu namun kali ini aku mengakui kalau aku harus membayar atas segala 'keangkuhanku'.

"Apa kabar lo Tan?"

"Baik. Lo dimana sekarang?"

"Singapura."

"Ah jadi ingat pertama kali gue ketemu lo." Aku tersenyum sambil mataku memindai sekelilingku. "Lo nggak kangen sama gue?" sambungnya lagi.

"Kenapa? Lo kangen?" balasku dan aku bisa mendengar tawa kecilnya di ujung sana. "Gimana kabar di rumah?" aku mencoba memancingnya sekaligus menghindar dari pembahasan tentang kangen-kangenan, satu hal yang sedikit membuatku tidak nyaman, karena hatiku justru lebih ingin tahu kabar adiknya.

"Adek gue si Ava udah pulang dan baru hari pertama aja Mama udah bikin dia nangis." Aku mendengarnya dengan fokus penuh mengingat di sekitarku cukup ramai dengan suara obrolan manusia dan bunyi musik yang terdengar hampir dari seluruh café yang berbaris di sekitar riverside.

"Oh ya?" responsku singkat namun otakku tidak bisa lupa dengan wajah sembab Ava saat kami bertemu waktu itu.

"Lo tahu nggak gue akhirnya dapatein klien..."

"Lalu Ava bagaimana?" potongku saat tahu Tania sudah akan mengalihkan topik obrolan kami. Perempuan itu tidak melanjutkan kata-katanya saat mendengar pertanyaanku.

"Dia baik-baik saja seperti biasa. Tapi sebenarnya ada hal yang bikin dia lebih galau dari Mama."

"Apa itu?" sambarku cepat namun sedetik kemudian aku menyesali sikapku ini karena bisa saja Tania akan curiga padaku.

"Dia lagi jatuh cinta." Kerongkongakan bergerak cepat. "Cowoknya dokter juga. Mereka ketemu di Ende." Entah kenapa tiba-tiba seperti ada sebuah lubang besar dihatiku saat mendengar info terakhir Tania. Kabar ini seperti sebuah peluru yang dilepaskan tepat di jantungku. Aku tidak bohong. Aku benar-benar merasakannya. Memang seharusnya aku tidak meremehkan kata-kata Ava malam itu karena apa yang dia takutkan ternyata terjadi. Aku menyukai gadis itu.

"Rick?"

"Umm...Tania sorry, gue sebenarnya lagi nggak bia telepon lama-lama. Gue lagi di jalan lagi di sekitaran Clarke Quay. Ramai banget di sini."

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.CODove le storie prendono vita. Scoprilo ora