Bagian 10

111K 9.5K 247
                                    

Senyum menyambangi kedua belah bibir Sidney tatkala pintu berbahan kayu di depannya terbuka. Muncul sosok Newt Hamilton di sana. Seperti biasa, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun setiap kali bertatap muka dengan Sidney.

"Apa?"

Sebenarnya Sidney terlalu malas berurusan lagi dengan Newt. Tetapi mau bagaimana lagi, ia membutuhkan pria itu saat ini. Jadi, sekuat mungkin ia menahan dumelannya di dalam hati.

"Jadi, begini, Tuan. Kemarin dosenku memberi tugas dan harus dikerjakan menggunakan laptop. Nah! Lalu begini, Tu—"

"Intinya saja."

Sidney cengengesan. Menggaruk belakang kepalanya, salah tingkah. Merangkai kata yang cocok untuk meminjam laptop seharusnya tidak sesusah ini, tetapi karena laptop yang ingin dipinjamnya merupakan milik Newt, maka tak heran jika semuanya menjadi sesulit ini.

"Aku boleh meminjam laptopmu? Hanya sebentar. Aku janji." Sidney mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, meyakinkan Newt akan perkataannya barusan.

Newt menyandarkan satu bahunya pada pinggiran pintu. Kakinya agak menyilang sambil bersedekap dada. "Boleh-boleh saja, tetapi meminjam denganku tidak gratis."

Senyum yang sedari tadi merekah di bibir Sidney, lenyap hanya karena satu kalimat jawaban dari Newt.

"Kalau begitu aku tidak jadi meminjamnya. Terima kasih."

Kalau sudah ada kata tidak gratis, Sidney akan langsung mundur saat itu juga. Mau bayar pakai apa? Di tabungannya memang tersimpan cukup banyak uang, tetapi ia tidak mungkin mengeluarkannya hanya untuk meminjam sebuah laptop. Lagipula, uang tersebut diberikan oleh Nate dan Olivia Hamilton. Ia sungkan untuk memakainya.

Lebih baik malam ini ia ke rumah Lisa saja dan meminjam laptop wanita itu.

"Aku belum makan malam."

Perkataan Newt membuat langkah Sidney mendadak terhenti. Ia lantas berbalik, menatap Newt dengan pandangan bingung.

Kalau pria itu belum makan, lalu Sidney harus apa?

"Masakkan aku sesuatu."

"Tapi aku—"

"Aku akan meminjamkanmu laptop sampai kau tamat kuliah," potong Newt langsung.

"Aku akan memasakkan sesuatu untukmu."

Setelah mengatakan itu, Sidney bergegas menuruni tangga menuju dapur. Penawaran itu menggiurkan sekali. Hanya sekali masak dan ia akan memiliki laptop selama kuliah.

Melihat Sidney, tanpa sadar senyum tipis terlintas di bibir Newt. Entah kenapa, ia sudah tak risi lagi melihat gadis itu berkeliaran di sekitarnya. Walau kadang merasa kesal karena sejak perjanjian mereka waktu itu, Sidney jadi sering memakai pakaian berwarna cerah.

Saat menuruni anak tangga, Newt tanpa sengaja berpapasan dengan Sidney yang berlari-lari menaiki tangga, terlihat terburu-buru.

"Kau kenapa?"

"Aku ingin mengambil mantel dan dompet. Di dapur tidak ada apa-apa. Aku mau ke supermarket sebentar."

Lagi-lagi Newt dibuat tersenyum oleh tingkah Sidney. Entahlah, gadis itu benar-benar mengingatkannya dengan kedua adik perempuannya. Apalagi mulutnya yang pandai berkilah itu. Sangat mirip dengan Olla dan Odellia.

Yang paling Newt sukai dari Sidney tentulah semangatnya. Seperti yang baru saja gadis itu tunjukkan. Dia rela melakukan apa pun untuk memenuhi keinginannya.

Seketika Newt menghentikan langkahnya. Tunggu ... barusan ia memikirkan Sidney, bukan? Oh! Sial. Ia pasti sudah tidak waras.

Menggelengkan kepala, Newt lekas melanjutkan kembali langkahnya dan mengenyahkan berbagai macam pikiran mengenai Sidney dari benaknya.

Sementara Sidney sendiri sudah lari pontang-panting menuju supermarket yang untungnya tak terlalu jauh dari penthouse Newt. Paling-paling hanya memakan waktu lima belas menit berjalan kaki untuk sampai di sana. Yah, tidak terlalu jauh, bukan?

Dan kini, Sidney telah berada di rak sayuran, memilih sayuran apa yang akan ia campurkan bersama bahan-bahan lainnya yang sudah masuk ke dalam keranjang belanja.

Tak membutuhkan waktu lama, ia pun mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat makan malam. Tidak terlalu banyak sebab Sidney tak terlalu pandai memasak. Dan ia berharap semoga Newt tak menyesal karena telah menyuruhnya memasak.

Sambil menyedot minuman dingin yang ia beli di salah satu toko kecil di pinggir jalan, Sidney pun berjalan dengan langkah ringan. Rasanya tak sabar membuatkan makan malam untuk Newt dan mendapat pinjaman laptop dari pria itu sampai ia lulus kuliah. Ya, Tuhan! Imbalannya benar-benar membakar semangat Sidney.

Saat hendak menyebrang jalan, tanpa sengaja mata Sidney bertumbukan dengan sepasang pria dan wanita yang tengah bercumbu di pinggir jalan. Gadis itu pun mendecih. Bukan karena merasa terganggu, tetapi lebih karena iri. Kapan ia bisa berciuman dengan seorang pria? Hidup selama sembilan belas tahun, Sidney tidak pernah berpacaran. Menyedihkan sekali.

Tunggu sebentar ... wanita yang tadi entah kenapa terasa familier di mata Sidney. Kakinya hampir menapak di zebra cross kalau saja dirinya tidak berbalik untuk melihat wanita itu sekali lagi. Syukurlah wanita itu masih berada di sana meski sudah tak saling mencumbu dengan si pria.

Mata Sidney yang awalnya menyipit untuk meneliti siapa wanita tersebut, kini membelalak lebar saat wajah itu terlihat jelas di matanya.

Ya, Tuhan! Wanita itu ternyata wanita yang sama dengan yang waktu itu datang ke rumah Newt. Kalau begitu, siapa lelaki yang tadi diciumnya? Setahu Sidney, wanita itu merupakan kekasih Newt, lalu kenapa dia mencium pria lain?

Sidney menggeleng beberapa kali. Untuk apa ia memikirkan hal itu? Barangkali Newt dan wanita itu sudah tidak lagi bersama. Lagipula, Sidney sudah tak pernah lagi melihat wanita itu datang ke rumah Newt.

Meninggalkan wanita itu, Sidney pun melanjutkan langkahnya. Kali ini sudah bukan minuman lagi yang ada di tangannya, melainkan lolipop yang turut ia beli. Dingin-dingin seperti ini memang enak makan yang manis-manis.

"Kenapa kau lama sekali?"

Sidney tersentak kaget ketika Newt membentaknya sesaat setelah ia sampai di rumah. Apa-apaan pria yang satu ini?

Sejujurnya Sidney enggan membalas pria itu, tetapi ia takut Newt berubah pikiran dan tak jadi meminjamkan laptopnya.

"Maaf, Tuan."

Walau hanya kata maaf, yang penting Sidney tidak mengabaikan pria itu.

"Aku sudah sangat lapar. Kau sengaja berlama-lama, kan? Lagi pula barang yang kau beli juga tidak terlalu banyak. Kau sengaja, kan?"

Sidney mensugesti dirinya untuk tetap sabar. "Aku lama karena aku ke supermarket dengan berjalan kaki, Tuan."

"Alasan sa—kau apa?" Newt tadinya ingin kembali memarahi gadis itu, tetapi setelah mencerna kalimatnya barusan, emosinya menguap seketika.

"Aku ke supermarket dengan berjalan kaki."

"Cuaca dingin seperti ini kau berjalan kaki?!"

Sidney meringis pelan bersaman dengan kepalanya yang membuat gerakan mengangguk. Bisa tidak sih, Newt tidak teriak-teriak seperti itu?

"Gadis bodoh! Letak supermarket lumayan jauh kalau kau jalan kaki. Kau mau mati karena hipotermia?!"

Mata Sidney berkedip dua kali. Newt terdengar seperti mencemaskannya. Apa ia tak salah dengar?

"Ka-kau mengkhawatirkanku?"

Newt membeku di tempatnya. Emosi yang sempat meledak-ledak karena mengetahui Sidney ke supermarket dengan berjalan kaki di cuaca yang dingin seperti ini musnah seketika.

Newt berdehem pelan. Menghapus segala macam ekspresi di wajahnya sehingga menyisakan raut datar di sana.

"Sudah, pergi sana. Buatkan aku makan malam." Alhasil, Newt pun mengusir Sidney.

Sedang Sidney sendiri merasa heran. Namun, ia cepat-cepat berlalu dari hadapan Newt sebelum pria itu kembali meneriakinya.

Sepeninggal Sidney, Newt bersandar pada dinding, mengacak rambutnya frustasi. "Astaga! Apa yang terjadi denganku?"

••••

10 Agustus, 2017

The Billionaire's BrideWhere stories live. Discover now