Lalu Kenapa? by @tatamaraaa

1.5K 286 119
                                    

Mereka membenciku.

Memberiku nama panggilan lain sesuka hati mereka.

Bahkan mereka tidak sedikit pun peduli pada perasaanku.

Memangnya, mauku untuk menjadi pemisah mereka dengan liburan? Atau menjadi tamparan bagi mereka agar kembali hidup? Kenapa mereka tidak mencintaiku seperti mereka mencintai saudara-saudaraku yang lain? Bukankah saudaraku yang lain juga memisahkan mereka dari tempat tidur dan mimpi?

"Aku sangat dicintai," kata saudaraku yang bernama Sabtu.

"Aku juga dinanti," sambung saudaraku yang lain, Jumat.

"Mereka menikmati waktu bersamaku," sombong saudara tertuaku, Minggu.

Aku hanya diam, tidak menyahut sama sekali. Saudaraku yang lain saling bercengkerama, bercerita bagaimana rasanya dicintai oleh mereka.

Selasa tersenyum. "Mereka bilang, mereka menantiku selalu. Karena aku membawa mereka pada acara favorit mereka."

Rabu tertawa sekilas mendengarnya, kemudian berkata, "Aku memberi mereka kesempatan rehat. Mereka bahagia ketika aku datang, karena berarti semakin dekat mereka sampai pada Jumat."

"Mereka takut padaku," ucap Kamis sambil menepuk dadanya bangga. "Aku selalu membawa kenangan menyeramkan bagi mereka."

Aku mengernyit heran. "Kenapa kamu terlihat bangga, Kamis? Bukankah kamu berarti dibenci?"

Kamis melihatku dengan pandangan meremehkan. "Dibenci? Tidak juga. Mereka malah takut dengan kehadiranku, dan tidak jarang aku malah dijadikan momen khusus bagi mereka untuk melakukan sesuatu."

Saudaraku yang lain tertawa mendengar ucapan Kamis, sementara aku hanya termenung diam dalam bingung. Apa yang harus Kamis banggakan dari itu? Ah, paling tidak Kamis tetap dinanti, tidak seperti aku.

"Bagaimana denganmu, Senin? Kudengar semua orang menyumpahimu," tanya Rabu dengan wajah prihatin.

Aku melempar senyum. "Ya, seperti itu."

"Sepertinya memang akan selalu ada si sial di antara saudara-saudara beruntung lainnya," ledek Kamis.

"Sudahlah, kalian berhenti menggoda Senin," lerai Minggu, yang terlihat paling bijak.

"Ya, benar. Hentikan menghina sesuatu yang sudah terhina," sambung Selasa dengan senyum sombongnya.

Mendengar ucapan mereka, tanganku mengepal kuat. Aku marah, dan tersinggung. Kecewa, karena bahkan saudara-saudaraku sendiri berbahagia dengan hujatan yang diberi padaku.

"Aku akan menemukan alasan, atau paling tidak, suatu hal yang membuatku dicintai oleh mereka," kataku lantang.

"Kamu yakin?" tanya Jumat dengan senyum miring.

"Kenapa tidak terima nasibmu saja?" lanjut Sabtu. "Toh selama ini pun kamu baik-baik saja, bukan?"

Aku bangun dari dudukku dan menatap saudara-saudaraku tajam satu per satu. "Lihat saja. Aku pantas dinanti dan dicintai juga seperti kalian. Mereka juga membutuhkanku suatu waktu. Aku akan membuktikannya!"

****

Aku segera datang. Mataku menatap nanar semua sosial media yang ada, berharap satu di antaranya dapat membuatku menemukan alasan bahwa aku patut dan layak untuk dinanti.

"MONsterDAY!"

"MONangisDAY!"

"MONmaap-kenapa-harus-ada-sih-DAY!"

Aku menggelengkan kepalaku, bagaimana bisa dari ratusan juta orang di dunia ini, tidak ada satu pun yang mencintaiku? Mereka semua benci dengan kehadiranku. Mereka semua menghujatku, seolah aku satu-satunya hal yang dibenci oleh mereka, seolah aku adalah satu-satunya penghalang kebahagiaan bagi mereka.

Tanganku kembali menjelajah pada sosial media yang lain. Masih berupa hujatan. Masih berupa candaan. Masih berupa hal jahat.

Kenapa sekarang manusia berubah menjadi penghujat yang sangat ahli? Apa benar aku tidak memiliki fungsi atau kemungkinan dicintai? Apa benar aku tidak pantas untuk ada?

Aku menangis. Menyesali nasibku yang buruk. Menyesali aku yang dikutuk untuk menjadi si awal minggu yang dibenci. Si perusak liburan. Si penghancur mimpi.

Sambil mengusap air mataku, aku membuka salah satu akun sosial media. Seorang anak laki-laki, mungkin berumur tujuh belas tahun. Aku bertekad dalam hati, inilah kali terakhir aku akan mencari alasan atas keberadaanku yang seharusnya juga bisa dinanti. Jika anak laki-laki ini juga menghujatku, maka aku akan memutuskan untuk terus menerima nasibku sebagai Senin, si penghancur.

Mataku beranjak dari satu pesan ke pesan lain yang dibuatnya, kemudian pandanganku tertuju pada satu pesan.

"MONikmati-dan-memulai-hidup-DAY! Selamat hari Senin, mari berbahagia! Karena hari Senin adalah awal, awal kita meraih mimpi, awal usaha kita. Mungkin Senin dibenci karena Senin mencambuk kita agar sadar dan kembali hidup. Apa yang salah dengan itu? Kehidupan yang bahagia harus dimulai dengan mencintai awal, seberapapun kerasnya awal memukulmu."

Aku tersenyum, tanpa sadar air mata kembali jatuh ke pipiku. Iya, aku adalah awal. Awal yang dibenci karena mereka harus bersusah payah memulai. Awal yang dibenci karena mereka harus bekerja lebih keras melawan dirinya sendiri. Namun awal, juga menentukan bagaimana akhirnya nanti.

Aku, Senin, mungkin bukan sesuatu yang dinanti. Akan tetapi aku, Senin, dibutuhkan oleh semua manusia. Dibutuhkan oleh mereka untuk membuat hidup mereka menjadi lebih baik.

Aku tersenyum. Aku menemukan alasannya. Alasan keberadaanku, alasan mereka membenciku, alasan kenapa aku diciptakan. Aku mungkin tidak dicintai semua orang, tidak dinantikan semuanya, tidak ditakuti oleh mereka, ataupun dinikmati dan membawa mereka pada sesuatu yang mereka cintai.

Namun aku adalah awal bagi mereka. Awal perjuangan mereka untuk hidup. Dan aku adalah penentu bagaimana mereka akan bertahan nantinya. Mungkin aku dibenci, tapi aku juga dibutuhkan. Dan alasan itu sudah sangat cukup bagiku.

Aku mengembuskan napas lega. Berkat anak laki-laki itu aku sadar. Jutaan hujatan mungkin kudapatkan, membuatku jatuh lalu menangis dan merasa terpuruk. Akan tetapi, satu pujian dan pemikiran positif mampu membuatku kembali hidup lantas tersenyum.

Lalu, kenapa kita begitu mudah membenci di saat mencintai jauh lebih membuat kita dan semua hal di sekitar kita merasa bahagia?

.

.

.

End. 

MONster DAYWhere stories live. Discover now