"Lihat ini Eomma, Noona."

Wonwoo mengeluarkan buku dari ranselnya. Menunjukkan ke arah ke dua wanita itu. Namun tidak ada respon berarti. Ibu dan Euna hanya memandangi buku itu, saling pandang dan mengerutkan dahi mereka.

"Eomma, Noona, tidak bisakah kalian menghargaiku dengan ikut senang? Kenapa ekspresi kalian seperti itu?" ucapnya kesal sembari menekuk wajahnya.

Euna dan wanita paruh baya itu kembali saling pandang. Setelahnya terkekeh bersama-sama.

"Aigoo ... kau seperti orang yang berbeda setiap berhubungan dengan buku," keluh Euna dengan menggelengkan kepalanya.

"Ini bukan sembarang buku Noona. Ini adalah benda berharga," ucap Wonwoo dengan tersenyum senang. Mengangkat bukunya tinggi-tinggi. Mengadahkan kepalanya untuk memandangi buku itu.

Ibunya dan Euna sama-sama tersenyum melihat ekspresi Wonwoo. Mereka seolah bisa merasakan kebahagiaan yang Wonwoo rasakan. Mereka sangat jarang melihat binar kebahagiaan dari remaja malang itu.

"Itu buku yang pernah kau ceritakan waktu itu kan? Salah satu karya penulis hebat itu. Bahkan buku ini sudah ada dalam bentuk film. Judulnya kalau tidak salah, The wings ... the wings ..." Euna menghentikan kalimatnya karena sibuk berpikir. Membuat Wonwoo tersenyum geli melihatnya.

"The wings of the Kirin, Noona."

"Ah ... iya ... benar. Itu yang noona pikirkan," lanjut Euna sembari menganggukkan kepalanya.

"Tapi ... siapa yang memberikan buku itu padamu Wonwoo-ya?" tanya ibunya. Membuat Wonwoo mendesah dan menggeleng lesu.

"Aku tidak tahu Eomma. Buku ini sudah ada di lokerku. Aku yakin ini adalah orang yang sama dengan orang yang sering membantuku di sekolah. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa dia," ucapnya penuh sesal.

"Tapi Eomma, siapapun dia, bukankah dia orang yang sangat baik, Eomma?" tanya Wonwoo yang sudah mengembalikan senyumnya. Dan wanita paruh baya itu mengangguk menyetujui.

"Kau benar. Dia adalah orang yang sangat baik karena sudah membuat anak eomma tersenyum seperti ini."

Saat Wonwoo masih memandangi buku di tangannya dengan senyum, Euna justru tersenyum sedih.

"Kau bisa bahagia karena hal sekecil itu. Seharusnya ..." Euna menggelengkan kepalanya. Bahkan ia tidak mampu melanjutkan kalimat itu meski di dalam hatinya.

Tanpa mereka tahu, Mingyu mendengar semuanya dengan jelas. Ia yang sudah berpakaian rapi dan berniat pergi justru menghentikan pergerakannya. Terdiam di anak tangga dengan tangan terkepal erat.

0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0

Seorang laki-laki berkaca mata berdiri di depan sebuah ruangan. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Saat suara dari dalam mempersilakannya, ia langsung memutar kenop pintu. Membungkuk hormat pada wanita cantik yang tengah duduk.

"Kau sudah mengurusnya?" tanya wanita itu tanpa memandangnya. Fokus pada berkas di hadapannya.

"Park Gihwan ingin pertemuan dilakukan di rumah Anda, Youra-nim." Dan seketika, Youra langsung mengangkat wajahnya.

"Apa maksudmu? Kenapa harus di rumah? Bukankah perjanjian awal tidak seperti itu?" Suaranya terdengar menahan emosi.

"Setibanya di Korea, Park Gihwan ingin pertemuan dilakukan di rumah Anda sekaligus beliau ingin mendapat jamuan dari Anda. Park Gihwan tidak ingin pertemuan diadakan di hotel atau di restoran. Dan Park Gihwan juga membawa istrinya ikut serta."

Tree of PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang