5 | Sumpah!

14.3K 1.9K 28
                                    

Enam hari sudah kuhabiskan waktu di Pulau Dewata. Tawa, bahagia, canda, marah, jengkel, emosi, dan kesialan mewarnai perjalananku dalam beberapa hari terakhir. Sedikit pun, aku tak pernah menyesali apa yang terjadi selama ini. Semua kuterima dengan lapang layaknya takdir hidup yang harus kujalani, termasuk pertemuanku dengan pria itu.

Sungguh aku bahagia, saat mengingat akan menginjakkan kaki di ibu kota kembali. Bukannya aku tak sedih berpisah dengan teman-temanku. Secara tempat tinggal kami terpisah cukup jauh saat ini. Memang, aku dan April sama-sama masih di sekitaran Jakarta. Namun Kanaya, akan menetap di Bali mengikuti suaminya. Begitu pula dengan Lola yang bertempat tinggal di Bandung, di mana rumah asalku berada.

Aku hanya senang karena tak akan bertemu lagi dengan alien itu.

Kulipat kaos dan celanaku yang menghuni lemari kamar resort beberapa hari terakhir. Setelah memasukkan dan menyusun tumpukan baju ke dalam koper, aku melangkah ke kamar mandi untuk mengambil alat mandi yang tersisa dari atas wastafel. Kumasukkan semua perlengkapan tersebut ke dalam kantong tas dan menarik ujung tali untuk menutup. Kuambil alat make up yang hanya berupa bedak bayi, lipstick peach, cologne, baby cream, dan sisir. Aku memiliki alergi terhadap kosmetik jenis apa pun maka dari itu sejak remaja sampai dewasa pun alat make up-ku tak akan pernah dewasa.

"Selesai!"

Kuraih pegangan koper dari atas tempat tidur dan menyandarkannya pada dinding. Sesaat kulihat sekeliling, meneliti isi kamar barangkali ada barang pribadi yang terlewat.

"Oke. Packing udah. Mandi udah. Sekarang ngapain, ya ..." Kumanyunkan bibir dengan bertolak pinggang, sambil menatap indahnya laut melalui jendela. "Hmm ... jalan-jalan aja deh!" Aku berbalik memakai sandal japit, sebelum mengambil keycard yang menempel pada dinding.

Suasana terasa sangat sepi dan udara rasanya cukup segar, saat yang tepat untuk menikmati sunrise pada pagi hari ini. Entah ada angin apa, mataku tiba-tiba saja mengerjap diwaktu yang terbilang masih gelap.

Aku bukanlah orang yang rajin untuk bangun pagi. Sangatlah tidak. Selalu bangun kesiangan, datang ke kantor sering terlambat, bahkan telah mendapatkan surat peringatan sebanyak dua kali akibat kebiasaan burukku itu.

Hebat, bukan?

Aku berhenti di atas tanah berumput hijau, di mana Kanaya resmi dipersunting oleh Johan. Di depan deburan ombak dan luasnya lautan sepanjang mata memandang, Johan mengikrarkan janjinya pada Tuhan untuk mengikat wanita cerewet dan boros itu menjadi istrinya.

Masih kuingat dengan jelas, bagaimana sepoian angin laut menghembuskan sebersit rasa bahagia di hatiku pada waktu itu.

Masih terasa dengan jelas pula, bagaimana sebersit rasa iri mengisi relung jiwaku, ketika satu per satu dari mereka pergi memenemukan jalan hidupnya masing-masing.

Aku benci sebuah melankolis, tapi aku tak bisa menepis jika aku adalah seorang wanita yang dilahirkan memiliki rasa itu.

Hari ini, nyawaku berkurang satu tahun, tepat pada angka genap 30. Tak ada yang berbeda, selalu sama disetiap tahunnya. Hanya bertambahnya nominal angka yang membedakan.

Tepat pukul 12 malam, ketiga sahabatku memberi sebuah kejutan di atas tempat tidur. Mungkin malam tadi adalah rencana termudah bagi mereka karena tanpa harus bersusah payah membawa tart dan kado besar menembus jalanan malam ibu kota.

Sudut bibirku terangkat kala menatap indahnya lautan luas dengan deburan ombak yang menggulung bersautan. Kuangkat kedua tanganku memeluk tubuh. Kemeja flannel merah bermotih kotak-kotak, nyatanya masih belum mampu menghalangi dinginnya angin laut. Bulu romaku seketika berdiri, saat desirannya kembali menerpaku.

I N B O U N D (Diaeresis, #1)Where stories live. Discover now