Hot Appetizer

24.7K 2.5K 15
                                    

"Masuk."

Terdengar sahutan suara bass pemilik kerajaan ini. Segera kuraih gagang pintu besar itu dan mendorongnya hingga daun pintu terbuka sedikit lebar. Dari kejauhan, kulihat salah satu sudut bibirnya tertarik menahan senyum kemenangan di balik meja raksasa itu.

Ya, aku tahu. Menginjakkan kaki di lantai gedungnya sama saja menjilat ludahku sendiri. Kalau bukan demi sesuap nasi, aku nggak sudi mengemis-ngemis waktu ke asisten pribadinya hanya untuk ngobrol sama dia.

"Wah! Udah saya tunggu-tunggu loh, Mbak, kedatangannya. Saya pikir nggak jadi ke sini. Masuk-masuk," tawarnya ramah yang begitu tengik di mataku.

"Ya jadilah! Kalau nggak, bisa dipecat aku." Kuikuti saja permintaannya untuk memasuki ruangan besar ini dan menutup pintu kembali.

"Hmm ... segitu pentingnya ya saya buat bahan tulisanmu."

"Udah, deh, nggak usah banyak bacot. Langsung aja wawancaranya."

"Loh, yang sopan, ya. Ini kantorku loh. Masih ingat, kan?"

Seketika darahku mendidih melihat dia dengan santainya menyandarkan bahu sambil bersedekap. Rasanya ingin aku lempar wajah songongnya dengan laptop di tasku.

Segera aku berjalan menuju sofa ruangannya dan mendaratkan pantat.

"Eh ... eh ... eh ... siapa suruh duduk di situ?"

Gerakanku terhenti dan memandangnya tak mengerti. "Lah, terus duduk di mana?"

"Sinilah," tunjuknya menggunakan dagu ke arah kursi di depan mejanya. "Itu sofa masih baru. Kamu duduk sini aja."

"Terus buat apa beli kalau nggak didudukin!" Bisa nggak aku benar-benar melempar wajahnya dengan sepatu gunungku yang sudah kulumuri kotoran kebo.

"Biasa aja ngeliatnya. Gak usah pake emosi."

"Aku buka pintu kamu tadi itu rasanya udah pengen nampar loh." Telunjukku menuding pintu yang baru saja kumasuki.

"Pantesan nggak laku-laku."

Sabar, Lea. Sabar ....

****

I N B O U N D (Diaeresis, #1)Where stories live. Discover now