6 - Tulpa

39 11 1
                                    

DARREN dan Zora bergegas kembali ke ruang tengah. Lantainya telah basah oleh air yang datangnya dari langit-langit. Mereka menaiki anak tangga dengan cepat. Tiba di lantai dua, mereka mendapati Connor tengah berhadapan dengan sesosok raksasa yang tingginya paling tidak tiga meter. Connor memegang pedangnya dengan siaga sementara raksasa di depannya menjulang nyaris menyentuh langit-langit dan mengeluarkan suara mirip debur ombak karena... seluruh tubuhnya terbuat dari air!

"Makhluk apa itu?" tanya Darren.

"Tulpa," Zora menyahut, terdengar takjub. "Makhluk independen yang diciptakan menggunakan sihir tingkat tinggi. Aku pernah menciptakan tulpa sebesar ibu jari dan itu susahnya minta ampun. Siapa pun yang menciptakan tulpa raksasa ini pastilah penyihir yang sangat kuat."

"Bukan waktunya untuk terkagum. Makhluk itu menyerang Connor."

Sang tulpa mengayunkan tangannya yang sebesar batang pohon dari samping, menyapu apa pun yang ada dalam jangkauannya. Connor mengayunkan pedangnya, memotong tangan makhluk sihir itu. Namun, potongan tangan itu malah menghantam Connor dengan telak, melayangkan tubuh remaja itu ke dinding.

Connor terduduk dan basah kuyup. Tulpa mengangkat sebelah tangannya yang tersisa, tampaknya hendak menggodam tubuh Connor. Darren cepat-cepat berseru, "Hei, kau, ke sini!"

Tulpa merendahkan tangannya, lalu berputar ke belakang dalam gerak lambat. Kemudian Tulpa mengangkat tangannya lagi, menggodam ke arah Darren dan Zora. Mereka menghindar, lalu berlari menghampiri Connor.

Darren mengulurkan tangannya. "Kenapa aku selalu menemukanmu dalam keadaan sekarat seperti ini?"

Sembari mencibir, Connor menyambut tangan Darren dan bangkit berdiri. Sang Tulpa telah berputar menghadap mereka lagi. Tangannya yang tadi diamputasi kilat oleh Connor sedang tumbuh kembali.

"Dia bahkan bisa bergenerasi sendiri," seru Zora terkesima.

"Sekali lagi, Zora, bukan waktunya untuk terkagum," Darren mengingatkan. "Lakukan sesuatu. Bakar dia hingga menguap atau apalah."

"Aku tidak bisa. Sebenarnya aku bisa. Tapi, karena aku sedang di Bumi, aku tidak bisa."

"Hah?"

"Kekuatan kami dibatasi saat kami menjalankan misi di Bumi agar keberadaan kami tidak terekspos. Itu salah satu hukum keramat yang tidak boleh dilanggar. Keberadaan kami, keberadaan Ethra tidak boleh sampai diketahui oleh khalayak Bumi secara luas."

"Teman-teman, rencana?" sela Connor meminta perhatian sebab sang raksasa air telah siap untuk menyerang lagi.

"Lari," celetuk Zora. "Ini bukan jenis Tulpa yang bisa kita kalahkan dengan membelahnya jadi dua bagian. Kita harus melenyapkan dalam sekali serang dan kita tidak bisa melakukannya. Jadi, lari. Sekarang juga!"

Mereka melesat sambil menghindari tangan-tangan Tulpa yang menyerang dengan membabi buta. Saat dengan sedikit keberuntungan mereka berhasil melewati sang Tulpa, tiba-tiba saja ada arus air yang merangkak naik dengan ganas, seperti air terjun yang terbalik, membentuk dinding air yang menghalangi jalan mereka.

Darren menatap dinding air di depannya. Uap merembes dari seluruh permukaan dinding. Suhu udara pun melambung dan dalam beberapa detik saja, kabut telah menurunkan kualitas penglihatannya. "Air panas," gumam Darren.

"Kalian berdua cari cara untuk melewati dinding air ini. Begitu kalian menemukannya, segera keluar dari sini. Aku akan mengalihkan perhatian makhluk sihir ini," kata Connor.

Zora berbalik. "Aku akan memberimu kesempatan untuk berkorban saat kita menghadapi makhluk yang lebih menyulitkan dari ini. Untuk sekarang, kita berpencar. Cincang tubuhnya sebanyak yang kalian bisa. Begitu tubuhnya cukup kecil, aku akan segera menguapkannya. Tubuhnya memang lebih besar dari kita, tapi kita menang jumlah. Kita punya kesempatan untuk menang."

"Kau bohong kan?" tanya Darren pesimistis.

"Percaya padaku, Darren Johnson, jika aku berkata jujur, moral bertarungmu bakalan anjlok dan dari apa yang aku pelajari di Imperium, jangan pernah biarkan moral sekutumu anjlok. Sekarang, berpencar!"

Setelah berpencar ke tiga sudut yang berbeda, Zora dan Connor mulai menyerang balik si Tulpa. Zora melontarkan bola-bola api dari tongkatnya, mengubah sebagian kecil tubuh Tulpa menjadi uap. Connor menyasar kedua kaki Tulpa berkali-kali. Darren... Ia berdiri di tempatnya, menatap pisau belatinya yang tidak lebih panjang dari lima belas sentimeter, menyadari kalau punya pisau belati sebagai satu-satunya senjata untuk bertarung sama menyebalkannya seperti punya pusaka pengganti warna kulit. Bertarung bersama Zora dan Connor, ia merasa seperti seseorang yang menguasai dua bahasa di antara poliglot yang menguasai setidaknya sepuluh bahasa.

Pada akhirnya, Darren cuma menyaksikan bagaimana Zora dan Connor melancarkan serangan dalam gerakan-gerakan yang terlatih. Ia mulai berharap ketika ia menyadari tubuh Tulpa itu kian menyusut. Lalu tiba-tiba saja suara debur ombak yang dikeluarkan si Tulpa bertambah keras dan tubuhnya memuai dengan cepat, bahkan lebih besar dibanding tadi.

"Curang!" seru Darren frustasi.

"Ini tidak ada habisnya," Zora menimpal.

Sang Tulpa raksasa kemudian meraih tubuh Connor yang kelelahan dan melemparkannya dengan enteng ke dalam perutnya. Connor tenggelam, lalu menghilang begitu saja.

"Connor!" Zora berteriak.

"Apa dia baru saja memakan Connor?!" tanya Darren panik.

Zora tidak menjawab. Penyihir itu tampak terguncang.

"Zora, jawab!"

"Aku tidak tahu."

"Kau harusnya tahu. Dia itu makhluk dari duniamu!"

Zora baru akan balik berteriak saat ia menyadari sesuatu. "Kau masih memegang belatimu."

"Apa hubungannya?!"

Zora berpaling ke arah lawan mereka. "Mungkinkah Tulpa ini..."

"Apa?"

"Kau percaya padaku?"

"Tidak!"

"Biarkan Tulpa ini memakan kita."

"APA?! APA KAU SUDAH GI—WOAH...!"

Sang Tulpa raksasa telah menggenggam Darren dan Zora dengan masing-masing tangannya. Darren belum selesai berteriak "LEPASKAN AKU!" saat Tulpa melemparkan tubuhnya yang kurus dan ringan ke dalam perutnya. Darren memejamkan mata. Suara debur air menerobos masuk rongga telinganya.

Inilah akhir riwayatnya, pikir Darren, dimangsa oleh manusia air raksasa. Namun, beberapa detik berselang, ia tidak kunjung merasakan sensasi ringan dan melayang yang ia pikir bakal ia rasakan saat ia meninggal. Alih-alih merasa ringan dan melayang seperti bulu, ia justru merasa seperti pegas yang ditarik ke berbagai arah.

Darren Johnson and the Mark of the Great ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang