Chapter 3

780 63 34
                                    

Rasanya pembukaan panjang lebar mengenai diriku sudah tak terlalu dibutuhkan lagi. Tak ada yang berubah dariku. Aku masih skeptis, masih tak beragama, masih gay, masih metroseksual, masih suka berfoya-foya menghabiskan uang, dan masih menjadi arsitek. Paling hanya beberapa hal minor yang berubah dari diriku, seperti tagihan kartu kreditku berangsur-angsur mengecil. Tidak. Aku tidak menemukan laki-laki kaya raya untuk kupeloroti uangnya.

Tunggu, sebenarnya ya. Secara tak langsung, aku punya laki-laki yang dengan suka cita membayari segala pengeluaranku—dan seingatku celana Calvin Klein ini dia yang belikan, lengkap dengan satu setel Hugo Boss dan Bvlgari parfum.

Kalau dipikir-pikir lagi, semua perubahan drastis dalam kurun waktu dua bulan ini—ya, aku juga tak menduga bahwa dua bulan ternyata cukup untuk mengubah hidup untuk selama-lamanya—terjadi karena laki-laki brengsek itu.

Semuanya berubah dengan begitu cepat dalam kurun waktu satu malam.

Ciuman panas yang berujung pergumulan sengit di atas ranjang mendadak berubah menjadi malam penuh intrik dan sedikit bumbu romantis. Sedikit...

Entahlah, aku sendiri tidak tahu apa yang menggerogoti pikiranku saat aku mengangguk setuju dan menerima cincin emas putih bermata berlian sepuluh karat. Sepertinya kilau mengkilap berlian yang membutakanku, membuatku langsung menyetujui lamarannya tanpa berpikir panjang.

Walau aku sempat terpikir untuk menyambar asbak berat berbahan granit hitam di samping tempat tidurnya dan menghajarnya di kepala. Membunuhnya.

"Will you marry me?"

Gerakan mengangguk sederhana membuatku terdampar pada perjanjian sehidup-semati tanpa jalan keluar.

Sekarang, aku adalah Sehun Willis,  seorang gay berprofesi arsitek, orang yang takut untuk berkomitmen, skeptis, dan sekarang bertunangan dengan seorang pengacara brengsek dari Belanda.

Yang lebih buruk lagi, aku akan menikahi si brengsek dalam waktu empat bulan lagi.

Nice...

.
♣♣♣
.

"Cheers untuk teman kita—Sehun—yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya!"

Sambutan meriah setelah ajakan minum Henry malah membuatku semakin sebal saja. Aku menyesap champagne-ku sambil terdiam dan kadang tersenyum pahit untuk menanggapi ucapan selamat teman-temanku. Kadang aku melemparkan delikan sebal ke arah Henry yang tertawa riang sambil menepuk-nepuk pundakku—terlalu keras, membuatku nyaris tersedak gelas champagne.

Baru tadi siang aku menceritakan Henry tentang pertunanganku dan si bodoh ini langsung membuat pesta besar-besaran di Ordo. Aku tak pernah keberatan dengan pesta dadakan, apalagi kalau pesta itu ditujukan untukku. Sayang, jenis perayaannya membuatku mau gantung diri saja. Beruntung kilau berlian di jari manisku sanggup mengobati rasa sedih akan berpisah dengan kebebasan.

Rupanya masih ada sedikit nilai plus dalam diri Kris. Laki-laki ini jelas pandai memilih perhiasan.

Ah, ya. Mungkin aku belum menyebutkan nama laki-laki yang pada akhirnya mendapatkan hatiku— term kelewat dangdut dengan bumbu telenovela itu milik Henry, bukan milikku. Namanya Kris Wu, seorang pengacara handal berdarah Belanda. Mari kuceritakan sedikit tentang apa yang terjadi dan kenapa aku bisa membenci 'calon suami'-ku sampai seperti ini.

Dua bulan lalu, pengacara brengsek ini mengancam untuk menjebloskanku ke penjara. Tuduhannya sederhana: penipuan. Katanya, aku menipu laki-laki dengan pesonaku, menggunakan uang mereka untuk kepentingan pribadiku, lalu meninggalkan mereka begitu saja. Mereka terlalu melebih-lebihkan apa yang terjadi. Cuma gara-gara kasus korupsi yang sialnya dilakukan anggota senat yang pernah tidur denganku dan—

A CommitmentWhere stories live. Discover now