"Ketika aku bertemu kamu di tempat ini lagi dan dengan begitu jelas mengingatmu setelah tiga belas tahun berlalu, sejak detik itu aku menganggap kamu istimewa Va." Seharusnya aku tidak perlu pura-pura tidak tahu kalau sebenarnya Rama memang punya rasa padaku. Meski kecil sekalipun, rasa itu sudah ada.

Dia menghela napas dan melapaskan tangannya dari pergelangan tanganku. Sedangkan aku perlu berkali-kali meneguk ludah untuk menenangkan diriku setelah mendengar kata-katanya ini.

"Aku juga nggak menyangka mengapa kamu begitu mudah masuk dalam pikiranku..." Dia memandangku tajam dan membuatku jantungku bergetar hebat di dalam sana. "Setiap saat." Sambungnya lagi dan kali ini membuatku sulit bernapas. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling berusaha lari dari perangkap tatapan dan kata-katanya.

"Ava...." Panggilnya.

"Mungkin setelah Mas Rama kembali ke Jakarta, aku sudah nggak akan masuk lagi dalam pikiran Mas." Aku mencoba menciptakan joke yang terasa garing bahkan di telingaku sendiri. Aku tertawa hambar sendiri dan Rama sama sekali tidak tersenyum, ia masih belum melapaskan tatapannya dariku. Rasa malu bercampur gugup memicu hawa panas menjalar ke setitip titik di wajahku.

"Aku memang pacaran dengan Ayana." Senyum hambarku tiba-tiba menghilang. "Namun setahun belakangan hubungan kami....." Rama menghembuskan napas cukup kencang.

"Umm....sebaiknya kita cepat turun Mas." Aku mencoba menghindari percakapan ini meski hati kecilku ingin sekali mendengar apa yang ingin aku dengar.

"Va, kamu pasti tahu perasaanku..." Rama terdiam sejanak dan beberapa detik kemudian dia tertawa kecil, mungkin saja dia sedang menertawai segala tingkahnya pagi ini. "Oke ayo kita turun."

Kata-kata yang tidak selesai terucap terasa mengganjal di hatiku dan aku terus menyalahkan diriku sendiri. Hengki membawa kami ke sebuah kafe sederhana yang mejadi bagian dari sebuah penginapan. Tidak banyak menu yang ditawarkan sehingga kami hanya memilih banana pancake dan kopi. Hengki menolak untuk makan dia hanya butuh segelas kopi dan memilih menikmatinya di mobil sambil merokok.

"Setelah pulang dari sini aku akan memutuskan hubunganku dengan Ayana." Rama berkata padaku tidak berapa lama setelah pelayan kafe meninggalkan meja kami. Aku sama sekali tidak punya ide bagaimana harus merespons berita ini.

"Bertemu denganmu membuat aku yakin bahwa aku harus melakukan hal ini."

"Tapi..."

"Kamu bukan orang ketiga Va! Aku bahkan nggak tahu bagaimana perasaan kamu padaku." Rama memandangku cukup tajam mencoba meyakinkanku. Seketika saja kata-kata Dian saat itu menghantuiku. Itu artinya kalau Rama tahu perasaanku sebenarnya apakah aku sekarang benar-benar sebagai orang ketiga?

"Va..."

"Aku..."

"Satu-satunya alasan aku mengajakmu kesini adalah untuk mengatakan hal ini. Sebenarnya aku nggak pernah berniat mengatakan siapa pacarku tapi sepertinya kamu sudah lebih dulu mengetahuinya dan itu yang membuatku sedikit kesal tadi. Maafkan aku ya."

Pesanan kami dihidangkan tapi rasa laparku sudah hilang terbawa angin. Aku hanya memainkan garpu di atas pancake yang penampakannya sebenarnya cukup mengundang selera. Sesekali aku menyesap kopiku dan mencuri pandang pada Rama di depanku yang hampir saja menandaskan isi piringnya. Betapa iri aku padanya karena dia terlihat tanpa beban.

"Aku menyukaimu, Va." Katanya sambil mendorong piring kosongnya ke samping. "Dan jangan tanya alasannya, okey." Aku sama sekali tidak mengangkat wajahku. Kalimat yang tidak lagi mengejutkan namun membuat dadaku terasa sesak entah karena bahagia atau rasa takut. Satu tanganku masih memegang garpu yang bergerak-gerak di atas pancake utuhku.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now