Lelaki itu lantas menjalankan tangannya menuju dahi Inara dan menyentuhnya sesaat. "Sakit?"

Bibir Inara mengerucut seraya menepis tangan Rahagi. "Gue serius."

"Tapi nada bicara lo nggak seserius itu, Nara. Aneh. Gila ya, karena gue tinggal setahun?"

"Iya. Kenapa?"

"Sama," jawab Rahagi seraya membuang pandangannya.

Inara terdiam. "Kita ini apa?"

Rahagi mengedip beberapa kali mendengar pertanyaan Inara. Lelaki itu menoleh dengan gerakan slow motion. Ia menatap Inara tidak mengerti.

"Ternyata kita sama-sama bego ya." Inara memutar bola matanya.

"Gue nggak ngerti kode, Inara jelek."

Inara mendengus. "Kita ini apa, Rag?"

Kini, giliran Rahagi yang menatap ke dalam mata Inara. Mata yang ikut tersenyum ketika Inara sedang tersenyum itu kini terlihat redup.

Ada sesuatu yang tersimpan di dalam sana, yang tertahan oleh sesuatu yang tidak Rahagi mengerti.

Apakah ini waktu yang tepat bagi Rahagi untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya?

"Lo mau jawaban yang jujur atau sekadar formalitas?" tanya Rahagi seraya menghembuskan napas pelan. "Gue nggak tahu pertanyaan lo itu ujungnya ke mana, Na."

"Maksudnya?"

"Bener kata lo, kita sama-sama bego."

"Langsung aja jawab kenapa sih? Nggak usah nanya balik."

"Kita ini saudara tiri, Na," jawab Rahagi menuruti permintaan Inara.

Senyum Inara mengembang–tentunya senyum yang dipaksakan. Ia seharusnya sudah tahu bahwa perhatian-perhatian kecil yang diberikan Rahagi tidak lebih dari perhatian kakak kepada adiknya.

"Tapi sayang gue ke lo nggak kayak sayangnya Bang Gafar ke lo. Gue sayang sama lo tanpa embel-embel saudara."

Inara perlu meralat kesimpulannya.

Rahagi bisa melihat pupil Inara melebar ketika dirinya mengatakan itu. Lelaki itu tidak ahli dalam membaca pikiran melalui mata, tetapi ia tahu bahwa Inara merasakan hal yang sama.

Ia kini tahu ke mana pertanyaan Inara tadi bermuara.

"Gue juga, Rag." mata gadis itu berkaca-kaca.

Lelaki itu menepuk puncak kepala Inara beberapa kali. "Jangan nangis."

Air mata Inara jatuh membasahi pipinya. Gadis itu menggeleng. "Nggak ada harapan, Rag. Harusnya dari dulu gue nggak membiarkan perasaan ini tumbuh."

Gerakan Rahagi terhenti. Ia menarik tangannya menjauhi kepala Inara.

"Lo nyesal punya perasaan itu?" tanya Rahagi tidak suka.

Inara menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Bukan gitu. Tapi kalau udah tahu ujungnya bakal gini, nggak seharusnya kita ngebiarin perasaan itu ada kan? Benar kata Kak Naya. Yang nggak seharusnya ada, emang sebaiknya langsung dicabut aja."

"Bakal gini gimana, Na? Gue mau berjuang. Ayo sama-sama berjuang."

"Berjuang buat apa, Rag? Papa nggak bakal setuju."

"Lo bahkan belum nyoba, Na."

"Mama udah pernah ngebahas ini sama papa–walaupun dalam bentuk pengandaian. Tapi ujungnya bakal sama, kan, Rag? Menjalin hubungan dengan saudara tiri–walaupun nggak sedarah–itu nggak etis. Bokap lo udah nikah sama nyokap gue. Dan seharusnya kita hidup bahagia sebagai saudara. Lima bersaudara yang saling menyayangi."

Rahagi sakit mendengarnya. Lelaki itu mengepalkan tangannya sembari menatap Inara yang menyeka air matanya.

"Harusnya lo nggak secepat itu menyerah."

"Apa ada pilihan lain selain menyerah?"

"Berjuang, Na."

Apa masih ada waktu untuk berjuang?

Inara menahan isakannya yang bisa saja lepas saat ini. Dengan susah payah, ia memaksa lidahnya untuk berbicara sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkannya.

"Cabut perasaan itu, Rag."

Rahagi menoleh dengan cepat kepada Inara.

"Lo–"

"Lupain gue. Lupain perasaan itu."

Rahagi menatap Inara tidak suka. "Gue nggak mau. Lo nggak punya hak maksa gue."

"Tapi lo harus."

"Nggak segampang itu."

Inara membuang pandangannya. Tanpa Rahagi tahu, Inara membiarkan air matanya lolos dari mata. Dalam diamnya, ia menangis.

"Segampang itu."

Rahagi menatap Inara sinis. "Malam ini mungkin malam terakhir kita bisa ngobrol-ngobrol gini sebelum gue balik ke Bandung. Just stop it, Inara."

"Gue mohon, Rag...."

Setelah itu, isakan tangis keluar dari mulut Inara. Isakan yang sedari tadi susah payah ia tahan, akhirnya bebas juga.

"Perasaan gue sama kayak lo. Gue juga sakit gara-gara hal ini. Tapi, gue sayang sama keluarga ini, Rag. Sama mama, papa, Kak Naya, Bang Gafar, Bang Bayu, lo."

Inara mengatur napasnya yang memburu.

"Secepatnya, gue bakal pergi ke Jerman setelah lo balik ke Bandung. Ini memang pertemuan terakhir kita. Mungkin jarak bisa ngebuat perasaan lo ke gue memudar, begitu juga sebaliknya."

Rahagi merasa pilu melihat Inara menangis di depan matanya.

"Tapi, itu cuma bisa terjadi kalau lo mau berusaha. Janji sama gue, Rag. Kita sama-sama berusaha."

Setelah itu, hanya suara isakan kecil dari mulut Inara yang terdengar. Ia menumpahkan semuanya dalam tangisnya.

Mengapa takdir tidak membiarkan mereka bahagia? Saling menyayangi, tanpa harus dibayang-bayangi status saudara tiri.

Rahagi menutup matanya sekilas. Setelah itu, dengan pelan ia bergeser mendekati Inara, lalu memeluknya. Membiarkan Inara menangis di pelukannya.

"Gue usahain. Udah, jangan nangis lagi."

Meskipun berat, tetapi Rahagi tetap mengucapkannya.

Pada akhirnya, ia memilih menyerah.

Menyerah atas perasaan yang tidak seharusnya bersemi di antara mereka.

"Janji, Rag."

"Iya. Tapi lo harus janji juga, ini terakhir kalinya lo nangis gara-gara ini." Rahagi mengelus rambut Inara pelan.

~~||~~

A/N

Ada yang kangen?

HAHAHAHA.

25 Juli 2017

s1  

AntipoleWhere stories live. Discover now