Our First Met

10.1K 383 6
                                    

September 2015
I feel nothing special on our first met and i didn't really like you at that time. But, look on what time can do
---------------------------------------------------------

ERICA POV

Untuk kesekian kalinya kutelusuri lorong rumah sakit ini. Dan untuk ribuan kalinya masih saja aku membencinya. Langkahku terhenti di depan pintu bertuliskan "dr. Anton". Kuhembuskan nafas sejenak sampai akhirnya kuputuskan membuka pintu tanpa mengetuk.

"Oh, Er. Tumben"

"Bekal papa ketinggalan. Mbak As suruh aku nganterin" jawabku sinis sambil meletakkan kotak makan di atas mejanya.

"Terimakasih, papa kira..."
Belum sempat papa menyelesaikan kalimatnya aku sudah membuka pintu tak mempedulikannya. Yang aku inginkan sekarang hanya beranjak dari tempat yang dari kecil entah kenapa selalu kubenci.

Lantunan lagu Fly On-Coldplay tiba-tiba terdengar. Kukeluarkan HP dari tas selempangku kemudian langsung kutekan tombol hijau di layar.
"Hallo, Cell"
Tanpa melihat namanya pun aku sudah tau siapa si penelepon.
"Hallo sayang, aku otw gereja nih. Ntar pulang aku langsung jemput di rumah ya. Gak lupa kan?
Cello, tepatnya Gracello Halim. Lelaki yang sudah kupacari 5 tahun. Entah kenapa kemanisannya tak luntur walau sudah selama ini, padahal aku seringkali mengeluh jenuh padanya. Tapi dia tak pernah mengucapkan kata jenuh sekalipun. Bagaimana aku tak luluh padanya.

"Iya Cell, met ibadah ya"

"Hmm pengen deh ibadah bareng kamu lagi"

"Hahaha udah ah sana keburu telat"

"Okay, love you"

Ketaatan ibadahnya benar-benar nilai plus dari seorang lelaki. Beruntung aku memilikinya. Yaaa padahal aku, perempuan pilihannya ini sudah mogok ibadah sejak 1 tahun lalu.

Gubrak...

Belum sempat aku memasukkan HP ke dalam tas, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Aku langsung membalikkan tubuh mencoba mencari sumber suara. Kulihat seorang perempuan seusiaku terjatuh di depan pintu kamar rawat. Dia meringis kesakitan. Kulihat sekelilingku, tak ada orang. Mau tidak mau aku mendekati, mencoba menolongnya. Ini kelemahanku, tidak tegaan.

"Gak papa?"
Tanyaku. Bodoh! Dia jatuh, tentu saja dia kenapa-kenapa.

"Ehmm ya"
Katanya sambil berusaha bangun. Kulihat kakinya yg bengkak penuh perban dan luka. Kubantu dia berdiri.

"Terimakasih. Apa aku boleh minta tolong?" Katanya memohon.

"Apa?" Tanyaku ragu. Takut permintaan tolongnya menyusahkanku.

"Tolong antar aku ke gereja sebelah rumah sakit ini. Please"

"Ehh...hmm...okay"
Kataku sambil menelan ludah. Kuletakkan tangan kirinya di atas bahuku. Tangan kanannya berusaha menahan dengan memegang tembok.

-----------------------------------------------------------
"Udah di sini aja" katanya sembari duduk di kursi paling belakang gereja.

"Terimakasih ya. Oh iya kenalin aku Filly. Kamu?"
Dia mengulurkan tangannya. Kulihat beberapa bekas luka di telapak tangannya.

"Erica" kujabat tangannya hati-hati takut menyakitinya.

"Kalau dilihat dari wajah orientalmu, kayaknya kamu nasrani sih ya"
Tanyanya menyelidikiku.

"Ah...enggak...eh...iya"

"Yaudah gereja bareng aja yuk"
Ajaknya menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya.

"Eee aku mau pulang ada urusan"

"Ibadah lebih penting loh. Sini bareng. Toh kamu masih punya tanggungan nganterin aku balik kamar" selorohnya tanpa dosa.

What??? Apa-apaan tidak tahu malu ini anak. Batinku. Ingin menolak tapi dia masih saja memegang tanganku. Aku teringat Cello. Apa ini waktunya "kembali"?. Akhirnya aku duduk dengan pasrah di sebelahnya.

Sepanjang ibadah kuperhatikan Filly. Kusyuk sekali, sesekali dia menangis. Aku masih tidak paham kenapa orang-orang bisa menangis di gereja. Apa yang mereka doakan?

Selesai ibadah aku menjalankan tanggunganku mengantarnya kembali ke rumah sakit.
"FILLY!!"
aku terkejut mendengar teriakan mama Filly setelah membuka pintu kamarnya.
"Darimana aja, nak? Mama bingung cari kamu"
Tanyanya kemudian membantu Filly berjalan ke ranjangnya.
"Ke gereja ma. Nunggu mama bisa telat. Lagian Filly ditemeni Erica"

Aku tersenyum terpaksa. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang suster masuk memeriksa kondisi Filly. Kemudian terkejut menyadari keberadaanku.

"Eh ada Erica. Temennya Filly toh? Gak mampir ke papa?"

"Papa?" Tanya mama Filly menatapku

"Dia anak dr. Anton, Bu. Semata wayang. Mari saya pamit dulu harus memeriksa pasien lain"
Suster itu tersenyum kepadaku dan kubalas dengan senyum kecut sembari memutar kedua bola mataku.
Aku tak suka diperlakukan istimewa. Lagipula segitu membanggakannya kah jadi anak dokter yang terlalu mendedikasikan waktunya untuk orang lain lebih dari keluarganya sendiri.

"Oh kamu anak dr. Anton toh. Papa kamu dokter terkenal loh. Si Filly juga pengen jadi dokter tapi tante ga punya cukup uang buat membiayai kuliahnya"
Kata mama Filly sedih, mengelus rambut putri kesayangannya itu kemudian mencium keningnya. Melihat pemandangan itu entah kenapa hatiku sesak.

"Ehmm tante, Fil, aku pulang dulu ya"

"Terimakasih ya Erica. Kalau pas ke rumah sakit main-main sini ya"
Ak tersenyum dan mengangguk tipis.

The First Girl I Love (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang