Part 5

44 5 1
                                    


Di dalam sebuah kamar yang terbilang cukup luas dan rapi, seorang pemuda duduk di sebuah kursi di depan pintu kaca yang membatasi kamarnya dengan beranda. Di sebelah tangannya terpaut sebuah buku yang tidak begitu tebal. Hanya sekitar 3 cm. Sebelah tangannya ia apitkan di depan dada dan lengannya. Satu kakinya ia pautkan di atas kaki yang satunya, menjadikan sosoknya terlihat seperti patung pahatan seniman Itali. Sungguh indah terutama dengan pencahayaan dari sekat kaca di sebelahnya. Sayangnya keindahan itu terganggu oleh raut emosi dan warna merah yang menjalar di telinganya. Rupanya telinganya telah lama terusik oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh seorang pria mungil yang duduk bersandar di sandaran ranjang. Ya, pria itu tidak sendirian di kamar itu.

"Hey! Bisakah kau matikan suara game-mu itu? Mengganggu sekali!"

Akhirnya pria tampan di ujung ruangan membanting bukunya di pahanya. Matanya yang indah tampak menyorot tajam ke arah pria mungil di ranjangnya. Pria mungil itu tidak repot-repot menoleh ke arah pria yang memarahinya. Jarinya masih saja sibuk mengalahkan monster di handphonenya.

Merasa tak diacuhkan, Pria di sudut ruangan beranjak dari kursinya, menghampiri ranjangnya dan melempar bantal ke arah wajah pria mungil. Si pria mungil tampak kaget dan tidak terima ketika bantal itu menabrak wajahnya dan membuatnya kehilangan kendali atas gamenya.

"Hey! Apa yang salah denganmu!"

"Aku yang harusnya berkata demikian, bodoh! Kenapa kau tidak main saja di kamarmu?" jari telunjuk Lino sudah mengarah ke arah pintu. Menandakan ia ingin pria mungil di depannya untuk pergi.

Fathan mendengus kesal dan meraih lagi handphonenya. "Tidak. Aku takut sendiri." dan kini ia kembali pada gamenya.

"Ck. Penakut! Setidaknya matikan suaranya. Itu mengganggu sekali!"

"Tidak. Justru suaranya yang membuat game ini seru."

Lino membuka mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Dengan lenguhan kesal ia berbalik, membuka pintu kacanya dan mengambi kursinya.

Kini ia duduk di beranda. Dengan pintu tertutup rapat dan angin semiir yang sejuk, ia rasa bisa untuk membangkitkan kembali mood membaca yang tadi sempat anjlok seketika. Namun di tengah matanya yang bergerak pelan mengikuti alur huruf-huruf di novelnya, matanya tertarik pada suara mobil yang terparkir di depan gerbang rumahnya. Dari kejauhan tampak security menghampiri mobil itu dan berbincang-bincang sejenak dengan seserang yang tidak terlalu jelas bagaimana rupanya. Hingga akhirnya mobil itu memasuki kediaman Lino dan berhenti di depan pintu utama. Segera saja Lino melompat dari kursinya dan berjalan sigap menuju pintu utama. Ia masih ingat dengan jelas kata-kata ayahnya semalam, bahwa ayahnya tak suka bila tamu mengentuk pintu lebih dari tiga kali.

Bunyi bel sudah berbunyi dua kali dan tangan Lino sudah membuka daun pintu menyambut sosok tamu yang berdiri di depannya.

"Ah.. apakah kau yang bernama Marcellino? Aku kakak Fathan, perkenalkan namaku Vero AGatha. Kau bisa memanggilku Gatha."

Sosok wanita itu tersenyum ramah dan menjulurkan tangannya ke arah Lino. Lino sejenak tertegun pada kecantikan gadis yang ternyata saudara tirinya. Dengan sedikit gugup ia menyambut jabatan tangan Gatha. "Lino." Ujarnya pelan.

"Kakak..!"

Baru saja Lino mempersilakan tamunya masuk, suara manja Fathan terdengar nyaring dari balik punggung Lino. Fathan menyambut kakaknya sambil berlari kecil dan berakhir dengan sebuah pelukan hangat. Lino meihatnya hanya tersenyum sinis. 'Seperti anak panda bertemu ibunya.'

"ungg... Adik kecilku. Bagaimana, kau betah di sini? Kau tidak merepotkan Lino kan?" segera saja Gatha menanyakan hal yang sudah membuatnya kepikiran sejak kemarin itu. maanya tampak tertuju langsung ke arah mata Fathan dengan kedua tangannya meremas pelan bahu Fathan.

Run Bunny! Run! [hiatus]Where stories live. Discover now