Part 01

52 40 19
                                    

(Gigi POV)

'Ahh badan guueee mau rontokk..capek bangeett'

Aku merutuk kesal. Sedikit menyesal karena mengikuti les dance. Awalnya sih aku memang iseng karena pengen bisa dance kayak girlband-girlband korea gitu.

Aku berjalan ke arah sepeda motor matic berwarna biru kepunyaanku, yang terparkir di halaman luar sanggar. Parkiran masih ramai. Itu karena aku keluar dari sanggar lebih dulu dari teman-teman. Aku ingin segera sampai di rumah. Aku benar-benar butuh kasur untuk saat ini.

Di perjalanan, aku menahan mati-matian mataku agar tidak terpejam. Semilir angin semakin menambah rasa kantukku. Alhasil, aku tidak berani menambah kecepatan motorku. Takut jika aku menabrak sesuatu.

"Hhhmmmp."

Mulutku sengaja kukatupkan saat aku ingin menguap. Huhh benar-benar menyebalkan... Aku mengantuk.

Rumahku ada di sebuah pedesaan. Tapi aku bukan murni dari desa ya. Sebenarnya rumahku di Kota Tangerang. Keluargaku semua stay di rumah itu.

Setelah SMP di kota tersebut, aku meneruskan pendidikanku di kota asalku lahir. Kota Malang, tempat yang aku pijak saat ini. Terpaksa, aku tinggal di rumah sewaan ayahku yang ada di desa bersama adik sepupuku yang sekarang satu tahun dibawahku, namanya Fika.

Rumah Fika sebenarnya ada di pusat kota. Sedangkan sekolah yang diimpikannya--sekolahku,  berada di perbatasan kota. Jadi, Fika memilih ikut tinggal bersamaku. Dan akhirnya aku hanya tinggal berdua dengan Fika.

"Allahu akbar. Allahu akbar"

Aku baru sadar kalau hari sudah petang. Ya maklumlah, aku keluar dari sanggar sudah hampir pukul lima.

Masih kurang tiga kilometer lagi dari rumahku. Itu karena ada di desa yang pojok. Aku juga heran mengapa ayahku mau menyewa rumah yang berada di desa terpencil itu. Apalagi desanya sepi banget lagi. Banyak pepohonan.

Tapi aku sedikit bersyukur, karena aku menemukan tempat favorit untuk leluasa melihat langit biru. Begitu hening, dan bebas.

Ya. Aku memang suka langit. Banget malah. Aku paling suka langit biru, cerah nggak berawan. Alasan kenapa aku suka adalah karena:
1. Aku suka biru
2. Rasanya tenang gitu ngliat langit, gak tau kenapa
3. Karena langit itu hebat
4. Aku suka langit

Haha. Aku memikirkan pernyataaan konyolku tentang kenapa aku menyukai langit. Keajaiban duniaku setelah keluargaku tentunya.

Jika malam datang, karena keajaiban dunia keduaku hilang, aku memilih menyukai bintang. Aku bisa bebas menentukan gambar dari kumpulan bintang. Atau mungkin menebak rasi bintang apa sekarang.

Jika pagi aku jatuh cinta pada langit biru, maka malam aku jatuh cinta dengan bintang.

Tubuhku mendadak menggigil pelan karena udara yang berhembus dingin lebih kencang dari sebelumnya. Semula aku mengira akan hujan, tetapi setelah kulirik langit di atas, tampaknya aku salah. Langit cerah total. Maklum saja karena bulan-bulan ini adalah kemarau.

Perlahan tapi pasti, jalanan mulai gelap dan sunyi. Aku kembali menggerutu kesal, mengapa aku mengikuti les itu jika berakhir seperti ini--pulang kemalaman, badan kayak mau rontok, belum ngerjain PR buat besok, dan belum memasak untuk makan malam.

Sepulang sekolah tadi, aku sempat membeli bahan-bahan untuk memasak makan malam nanti. Memang tidak banyak, secara kan hanya untuk aku dan Fika.

Semakin aku masuk, aku merasa wilayah ini menyeramkan. Bagaimana tidak? Rumah sudah terlihat jarang. Kendaraan satu-satunya yang melewati jalan ini adalah aku sendiri. Bagaimana mungkin orang kompakan tidak melewati jalan ini sehingga menyisakan aku sendiri? Ditambah lagi bunyi kretek dari pepohonan membuat bulu kudukku merinding.

Aku menambah laju kendaraanku.

Sebenarnya aku terbiasa melewati jalan ini. Karena hanya jalan ini satu-satunya yang menuju rumah sewaan Papaku. Tapi tetap saja masih sedikit merinding, apalahi setelah aku dengar desas-desus bahwa banyak terjadi penculikan di sekitar wilayah ini.

Aku melihat mobil terparkir di pinggiran jalan, bersisian dengan hamparan sawah. Aku tidak bisa menebak siapa pemiliknya, yang mau-maunya memarkir mobil di tempat seperti ini. Kesamber apa coba?

Ketika berada pada jarak yang cukup dekat dengan mobil, aku menyadari ada orang disekitar mobil itu.

Aku tidak tau berapa orang itu, kondisi yang gelap adalah alasannya. Tetapi, aku dapat melihat remang-remang sesosok hitam menghadangku. Salah satu orang itu mencegatku, membuatku mau tak mau harus berhenti.

Aku mengenal perawak orang yang dihadapanku saat ini adalah seorang laki-laki. Bapak-bapak mungkin. Ternyata bapak ini tidak seorang diri. Tidak jauh dari mobil, kulihat ada sekitar 3 orang beeperawakan sama yang juga menatapku tajam. Ada apa memang?

Belum sempat menyelesaikan pemikiran tentang siapa dan kenapa bapak-bapak ini dengan tiba-tiba menahanku supaya berhenti, salah satu dari mereka mendekatiku. Ada rasa tidak enak seiring langkahnya yang semakin mendekat. Dan ketika orang itu memaksa dan menyuruhku untuk turun, lalu mengambil alih sepeda motorku, aku tidak sempat berkata apapun. Lidahku kelu dan aku takut untuk berbuat sesuatu.

Mereka....perampok?

Jalanan yang sepi membuat perasaanku semakin tak karuan. Aku takut terjadi sesuatu buruk yamg lain. Setelah tahu bahwa orang-orang di depanku ini sama sekali bukan orang baik.

"Berhenti."

Akhirnya aku dapat mengatakan sesuatu setelah aku sadar aku tidak boleh diam ketika mereka mulai bergerak akan meninggalkan lokasi. Memang ada rasa sedikit takut jika mereka tahu aku melawannya. Meskipun mustahil karena aku hanyalah seorang cewek umur 17 tahun, sedangkan mereka yang laki-laki, berempat.

Mungkin aku bisa mengulur-ulur waktu sambil berharap ada seseorang yang lewat jalan ini. Barangkali aku bisa meminta pertolongan.

Aku berdehem ketika seseorang yang mengendarai motorku itu menatapku tajam. Aku jelas tahu meskipun cahaya sudah mulai menggelap. Sedikit cahaya mobil menerangi wajah orang menyeramkan itu.

"Tindakan pencurian itu dilarang agama. Apa bapak-bapak tidak tahu jika itu haram?"

Meskipun tahu jika aku berbicara bukan seperti kepada teman atau pelajar, melainkan seorang pencuri. Bagaimanapun pencuri adalah manusia. Mereka juga punya akal dan hati. Maka dari itu aku yakin pasti ada rasa sedikit tersinggung di hati mereka ketika mendengar kalimatku tadi.

Tiba-tiba salah satu dari mereka yang berada di mobil, keluar. Lututku serasa lemas ketika orang tersebut semakin mendekat. Apa mungkin dia marah denganku?

Tuhan, tolong aku....

"Jangan mendekat. Atau saya akan berteriak", aku meneguk salivaku susah payah, "anda tidak perlu melakukan hal keji seperti itu. Jangan mengotori hidup kalian--hhhmmpp."

Ketika berada di depanku, seseorang itu mengeluarkan saputangan dan membekap mulutku dengan satu tangan. Kakiku gemetar memikirkan hal-hal negatif yang mungkin akan terjadi setelah ini.

Aku sadar tidak boleh menghirup bau ini--saputangan yang dibekapkan oleh orang itu ke mulutku, mengandung obat bius. Dengan panik, aku mencoba melepas tangan itu yang membekapku. Tapi tangannya yang kuat, kalah jauh denganku yang memang tanganku tidak ada bandingannya dari orang itu.

Mau tidak mau aku terlanjur menghirup obat bius tersebut. Dan ketika mataku memanas saking takutnya karena orang itu mulai mengangkat tubuhku, kesadaranku berangsur menghilang. Jelas aku ketakutan dan aku merutuk kesal--kenapa tidak ada seorang yang lewat jalan ini dan menolongku?

"Tunggu!"

Orang yang menggendongku itu berhenti. Menoleh ke arah sumber suara yang menurutku asing. Seiring kesadaranku melemah, aku berharap seseorang menolongku. Aku berharap tidak terjadi hal buruk setelah ini.

Saat detik kesadaranku benar-benar menghilang, aku sempat melihat seseorang mendekat kearahku. Dan semua menggelap begitu orang yang menggendongku tadi menurunkan dan meletakkan tubuhku sembarang ke rumput begitu saja.

******************************

Forgive Me, RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang