Yang pastinya, no gossip.

"Eh, ada laman yang ngebahas Blackpole."

Bisik-bisik seperti itu bisa didengar oleh Inara dari tempat duduknya. Gadis itu perlahan membuka majalah sekolah yang sudah ia pegang.

Gadis itu tersenyum puas melihat dua halaman majalah dengan tema warna toska-hitam, sesuai pilihannya.

Sisi Lain Blackpole–begitu judulnya.

Halaman tersebut menjelaskan fakta tentang Blackpole yang selama ini dipandang buruk. Inara menceritakan semuanya, dimulai dari awal mula Blackpole dipandang buruk, pemberantasan oknum jahat, hingga ke kegiatan amal yang dilakukan oleh Blackpole–tentunya ditunjang oleh foto-foto.

Inara juga memasukkan kejadian di mana Naya di-bully oleh oknum Blackpole sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, hanya sebagai pembanding bahwa oknum Blackpole dan anggota Blackpole itu berbeda.

"Kurang percaya sih gue."

"Tapi fotonya kayak diambil diam-diam gitu."

"Siapa tahu emang bener gini."

Inara mengabaikan desas-desus yang memenuhi ruangan kelasnya. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya. Inara mendongak dan menemukan Aneke sedang mengacungkan jempolnya ke arah Inara.

Gadis itu tersenyum. "Sekali lagi, makasih, Ke," ujarnya pelan.

# # #

Inara terjaga dari tidurnya–jam satu dini hari, seperti biasa. Bedanya, kali ini tidak ada Naya di sampingnya. Gadis itu mengusap wajahnya kemudian beranjak dari tempat untuk menghidupkan lampu kamarnya.

Setelah mencuci muka dan melaksanakan salat malam, Inara melangkah keluar kamar.

Tepat saat Inara membuka pintu kamar, di hadapannya, Rahagi juga baru saja membuka pintu kamarnya. Keduanya sempat saling menatap sepersekian detik sebelum Rahagi membuka suara–membuat Inara membuang pandangannya.

"Sebaiknya lo kurangi deh, bangun malam-malam." lelaki itu keluar dari kamarnya kemudian menutup pintu kamar.

"Kenapa?" tanya Inara seraya mengikuti Rahagi–keluar dari kamar dan menutup pintu kamar.

"Tadi pagi kenapa pingsan?" Rahagi balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Inara.

"Hmm." Inara tampak berpikir. "Kayaknya gara-gara kemarin malam kebablasan ngerjain soal sampai tengah malem, hehe."

Rahagi menggelengkan kepalanya. "Kesehatan itu penting." lelaki itu berjalan mendahului Inara, menuruni tangga.

"Iya. Tahu." Inara berjalan pelan di belakang Rahagi.

"Sekarang bangun tidur atau belum tidur sama sekali?" tanya Rahagi tanpa menatap Inara.

"Bangun tidur. Kayak biasanya. Haus, pengen cokelat panas." Inara memegang lehernya.

"Heran gue kenapa lo masih boncel padahal setiap malem minumnya cokelat." Rahagi masuk ke ruang makan lalu menekan tombol lampu ruang makan–sekalian dengan lampu dapur juga.

"Heh!" seru Inara tidak terima.

"Pfftt." Rahagi berusaha menahan tawanya.

"Kurang ajar emang. Itu pengaruh gen. Gue bisa apa kalau gennya emang gitu?"

"Tahu tentang gen juga ternyata."

Inara memutar bola matanya. "Nggak boleh rasis lho. Mentang-mentang IPA," cibirnya.

Rahagi tertawa kecil. "Habisnya, seru sih lihat lo ngomel-ngomel. Inara other side. Beda banget sama image lo di sekolah yang baik banget. Kalem, penurut, disiplin, sabar."

AntipoleWhere stories live. Discover now