24.

515 13 0
                                    

"Ayah, kenapa menangis?" Nae terkejut dan segera menghampiri ayahnya.

"Siapa yang menangis..." ayahnya buru-buru memalingkan wajahnya dan menghapus air matanya. Nae melongok ke dalam kamar Pekae. Bibi dan Pekae terlihat sedang tertawa senang melihat nenek asyik bermain dengan bayi itu

"Ayah, 'si manis' itu... Benar-benar julukan seseorang ya? Bukan nama sapi atau binatang peliharaan lainnya..."

Ayahnya sepertinya terkejut mendengar pertanyaan Nae yang mendadak itu. Ia hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa.

"Benar julukan seseorang? Siapa? Yang pasti bukan bibi. Jangan-jangan, aku?"

Nae mengernyitkan dahinya mendengar nama yang agak kampungan itu. Ayahnya hanya membalikkan badan dengan tatapan kosong. Nae terdiam sejenak melihat ayahnya itu lalu berjalan mengikutinya.

Nae dan ayahnya duduk berhadapan di sebuah tempat minuman yang terletak cukup jauh dari rumah sakit. Nae memesan makanan dan minuman karena ayahnya tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka keluar dari rumah sakit tadi. Kemudian, Nae menuangkan minuman ke mangkuk ayahnya. Ayahnya langsung meminum habis tanpa berkata apa-apa.

Nae mulai khawatir. Apa ia seharusnya tidak boleh menanyakan hal itu? Nae mulai menyesal, kalau-kalau ia membuat ayahnya sakit hati dengan pernyataannya itu. Sementara itu, ekspresi aneh terlihat di wajah ayahnya.

"Kau tidak tahu kan? Waktu ayah masih kecil dulu, di rumah kita ada banyak binatang peliharaan. Sapi, ayam, kambing. Pohon buah-buahan, ladang... Bunga teratai, pengasuh anak, dan juga orang-orang yang kerja di ladang. Dulu keluarga kita cukup kaya..." ayah tersenyum kecil seolah semuanya itu terbayang kembali di depan matanya.

"Ternyata ucapan bibi itu benar..." Nae tertawa pelan. Seandainya masih seperti itu saat ini. Bukannya ia tidak pernah membayangkan hal itu saat pertama kali mendengar cerita bibinya.

"Saat itu, ada seorang buruh yang baru menikah dengan seorang gadis cantik dari desa seberang," ayah memandang Nae dengan wajah tenang.

"Akan tetapi, buruh itu meninggal tiba-tiba karena keracunan pestisida. Saat itu, istrinya tengah hamil tua. Dan saat itu, ibuku yang sesungguhnya juga baru meninggal karena sakit."

Ayah menghela nafas. Ibuku yang sesungguhnya? Nae memiringkan kepalanya dengan bingung, lalu kembali menuangkan minuman ke mangkuk ayahnya. Ayah kembali menegukan sampai habis.

"Saat itu, kakekmu tidak bisa mengurus kami. Yang mengurus kami seperti mengurus keluarga sendiri adalah istri buruh yang baru melahirkan anak perempuan itu. Merawat ketika kami sakit, menyuapi kami, menidurkan kami. Wajahnya cantik dan hatinya pun baik. Sampai-sampai kakekmu jatuh hati padanya."

Tampak air mata di ujung mata ayahnya yang sedang bercerita itu. Entah bagaimana arah ceritanya ini.

"Kakekmu ingin menjadikan wanita itu sebagai istrinya, tapi di tolak oleh keluarga kita. Awalnya, wanita itu juga menolaknya, tapi akhirnya kakekmu menang dan wanita itu sekarang menjadi ibuku. Yaitu nenekmu sekarang..."

"Apa?" Nae melonjak terkejut.

"La, lalu anaknya?"

"Anak itu diberikan kepada pasangan buruh lain, karena kata orang-orang tua saat itu, anak itu adalah anak buruh. Akhirnya, nenekmu tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat anak perempuannya tumbuh sebagai anak orang lain."

"Jangan-jangan..." Nae sepertinya mengerti sekarang siapa 'si manis' itu.

"Aku yang kebetulan mengetahui hal ini tentu saja ikut menjaga anak itu dengan baik, seperti nenek yang telah merawat kita dengan baik. Setiap hari aku menggendong anak itu, bermain dengannya, memberinya makanan enak. Setiap sapi-sapi di rumah dibawa ke padang rumput, setiap pulang sekolah aku langsung mengajaknya ke ladang itu dan menyuruhnya membawa sapi itu..."

Ayah memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Pemandangan ladang saat itu pasti terbayang lagi di depan matanya. Anginnya, Wangi rumput, suara burung, sinar matahari... Nenek yang sekarang terkena gejala alzheimer itu pasti pikirannya kembali kemasa itu. Oleh karena itu, ia selalu kabur dari rumah untuk mencari anaknya itu.

"Akan tetapi, suatu hari aku tidak sengaja mendengar sesuatu yang tidak boleh ku dengar. Perkataan ibu yang menangis sambil memeluk 'si manis' yang saat itu baru berusia 10 tahun dan tidak tahu apa-apa..."

Ayah menarik nafas panjang, seolah hatinya sesak mengingat kembali hal itu.

"Saat itu aku berusia 18tahun. Ibu memberikan sebuah bungkusan 'si manis' itu. Menyuruhnya kabur saat semua orang di rumah sedang tidur dan berjanji kalau ibu juga akan mengikutinya. Mereka berjanji untuk bertemu di depan pintu timur pabrik penggilingan beras. Saat itu, ibu juga sayang pada kita semua, tetapi ia tidak tahan melihat anak perempuannya sendiri di besarkan di tangan orang lain karena kondisi anak itu jauh lebih menyedihkan daripada kita."

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang