11.

722 17 0
                                    

Kenapa ia tidak menolong Aom dan hanya diam saja seperti itu? Padahal sebelumnya ia langsung lari secepat kilat membela Aom.

Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya Nae bisa memahami sikapnya itu. Mungkin saja ia juga tidak bisa berbuat apa-apa dalam situasi ini.

Untuk saat ini. Setelah ini, pasti ia menghibur wanita itu habis-habisan. Sepertinya untuk saat ini, Aom harus berjuang seorang diri.

Nae kembali memandang ke arah Aom yang berada di tengah kerumunan orang itu dengan hati tidak keruan. Apa percuma aku mengusulkan untuk membahas masalah ini? Ternyata aku ini masih tetap seorang reporter yang payah, sesal Nae.

"Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku siap menerima hukuman sampai..."

"Mana orang-orang di rumah sakit ini? Kenapa masih membiarkan dokter payah seperti ini bekerja di sini? Bagaimana orang-orang bisa berobat di rumah sakit yang tidak peduli dengan dokter-dokternya seperti ini? Memangnya semua bisa diselesaikan dengan uang?"

Ibu mertua yang memotong perkataan Aom semakin emosi dan meninggikan suaranya. Ia menatap ke orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya satu per satu, seolah ingin meyakinkan bahwa ia benar-benar menjadi korban dalam kejadian itu. Sementara Aom semakin menundukkan kepalanya.

"Cepat selamatkan cucuku! Gara-gara kau, aku tidak bisa melihat wajah cucuku!"

Tiba-tiba ibu mertua itu mulai memukul-mukul  dadanya sendiri. Apa uang kompensasinya masih kurang? Tingkahnya lebih parah dari hari sebelumnya. Kalau saja Nae tidak mendengar percakapan rahasianya malam itu, kalau saja ibu mertua itu tidak menekan anaknya dan menantunya, mungkin ia bisa memahami sikap ibu itu saat ini.

Namun, karena ia sudah tahu situasi yang sebenarnya, ia lebih merasa kasihan pada menantu yang melahirkan itu dan anaknya yang meninggal.

Terdengar suara decakan lidah dari orang-orang di sekelilingnya. Nae tidak paham ditujukan kepada siapa sebenarnya decakan itu.

Aom menutup mulutnya rapat-rapat. Mungkin hari ini adalah hari yang paling berat dan terasa seperti neraka di sepanjang hidupnya.

"Lebih baik kau mati saja! Lalu bawa kembali cucuku padaku! Baru aku bisa memaafkanmu! Cepat!"

"Sudahlah, cukup."

Akhirnya Batz yang sejak tadi hanya mengawasi mereka datang menghampiri.

"Mengapa ibu yang memaksa menantunya sendiri untuk melahirkan anaknya sebelum waktu persalinannya sekarang marah-marah seperti ini? Ibu pikir dokter-dokter yang melakukan kesalahan karena tuntutan dan paksaan keluarga pasien ini tenang-tenang saja?"

Suara Batz yang dalam itu terdengar di seluruh lobi. Namun, emosi ibu itu semakin memuncak.

"Kalian berdua ini memang pasangan ya, saling membela? Kalian tahu tidak, betapa banyak orang yang harus menjadi korban gara-gara dokter-dokter seperti kalian ini? Kalian pikir kalian itu tuhan dan bisa berbuat apa saja seperti ini? Kalian kan sudah melakukan kesalahan!"

Tiba-tiba.

"Cukup, hentikan!"

Tatapan orang-orang di lobi itu seketika mengarah kepada suara yang tiba-tiba muncul. Semua orang yang berkerumun menyingkir. Lalu, seorang wanita dengan pakaian pasien dan masih dengan infus menempel di tangannya berjalan maju ke tengah kerumunan. Pasien yang saat itu ditangani oleh Aom berjalan dengan susah payah sambil menarik tiang infusnya.

"Ini kan bukan hanya kesalahan dokter itu."

Aom yang terkejut melihat kedatangan pasiennya itu tidak dapat mengangkat kepalanya.

"Yang memaksa dokter itu untuk segera melakukan operasi adalah aku dan ibu. Ibu kan yang begitu panik, takut anakku lahir meleset satu detik saja dari ramalan orang pintar itu. Lalu, ibu pikir hanya dokter ini saja yang panik saat kecelakaan itu terjadi? Aku juga rasanya ingin mati saja. Toh aku bukan mesin untuk melahirkan anak. Ibu pikir aku pernah merasa tenang melihat bagaimana perlakuan ibu terhadap kelima anak perempuanku, anak-anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan ibu? Aku hanya merasa kagum pada diriku sendiri yang sanggup melahirkan sampai lima kali seperti itu. Aku sudah benar-benar lelah sekarang. Lelah mendengar tuntutan ibu mengenai anak laki-laki. Aku tidak tahan lagi!"

Gadis itu terlihat hampir menangis. Ia menatap ibu mertuanya seolah menyalahkannya.

"Ini bukan urusanmu. Kembali saja ke kamarmu!"

Ekspresi ibu mertua yang tadi berteriak-teriak marah pada Aom itu tiba-tiba berubah dan ia memerintahkan menantunya itu dengan wajah keras.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang